Minggu, 07 Mei 2017

Cerita Cinta Silat Dendam dan Asmara Full Tamat Komplit

Cerita Cinta Silat Dendam dan Asmara Full Tamat Komplit
Pagi yang cerah. Matahari baru muncul di balik bukit, menyinarkan cahayanya di permukaan
bumi mengusir  kabut  pagi  dan menggugah  semua  mahkluk  dari  kelelapan  selimutan malam.
Embun  pagi  berkilauan  di  ujung-ujung  daun  dan  rumput,  burung-burung  berlompatan  dari
dahan ke dahan sambil berbunyi saling sautan, siap untuk menunaikan tugas mereka seharihari, yaitu mencari makan. Kelinci-kelincipun bersama dengan tikus dan  binatang lain, keluar
dari sarang mereka dan memulai hari itu dengan mengendus-endus dan mencari-cari makanan,
baik  untuk  perut  sendiri  maupun  untuk  perut  si  kecil  di  dalam  sarang.  Semua  makhluk,  dari
binatang terkecil sampai kepada manusia, bersiap-siap melaksanakan  satu tugas yang  sama
dalam kehidupan ini, yaitu mencari makan! Tugas utama bagi kelangsungan hidup di dunia ini.
Bekerja!  Hidup  tanpa  bekerja  sama  dengan  mati,  karena  bekerja  itu  pada  hakekatnya
merupakan kebaktian dan penyembahan kepada Tuhan Maha Pencipta. Tuhan Maha Pencipta
sendiri  dengan  kekuasaanNya,  tidak  pernah  berhenti  bekerja.  Bahkan  kehidupan  inipun
berisikan hasil dari tugas pekerjaan yang dilaksanakan dengan sempurna. Pertumbuhan setiap
makhluk  itu  hasil  pekerjaan,  berdetiknya  jantung  setiap  saat  itu  hasil  pekerjaan,  keluar
masuknya  pernapasan  juga  hasil  pekerjaan.  Segala  sesuatu  bekerja,  dan  itulah  kehidupan!
Masing-masing  dari  kita,  bahkan  masing-masing  dari  anggauta  tubuh  kita,  semua  memiliki
tugas tertentu dan harus dilaksanakan dengan baik. Kalau kurang baik pelaksanaan sebagian
saja dari tubuh kita, maka kita akan jatuh sakit.
Hutan itu sunyi dari manusia, walaupun ramai dengan binatang yang mulai sibuk. Dari semut
yang paling rajin sampai dengan binatang besar yang lamban dan nampak bermalas-malasan.
Akan tetapi, kesunyian itu tidak terasa oleh seorang pemuda yang juga sedang bekerja mencari
kayu bakar. Kadang dia memunguti kayu kering yang sudah tanggal dari pohonnya, kadang dia
melompat ke atas dan merenggut putus sebuah dahan pohon. Dari gerakannya melompat ke
atas dan merenggut putus dahan-dahan itu, dapat terlihat betapa pemuda itu memiliki gerakan
yang tangkas dan ringan sekali, juga renggutan tangannya amat kuat sehingga sekali renggut
saja, dahan itu patah.
Musim kering belum tua benar, tidak banyak dahan kering  yang sudah tanggal dari pohonnya,
maka  terpaksa  dia  mencari  dahan  basah  untuk  kemudian  dijemur  dan  dijadikan  kayu  bakar.
Setelah  mengumpulkan  sejumlah  yang  cukup  banyak,  pemuda  itu  berhenti  bekerja,  lalu  dia
mulai berlatih silat di bawah sebatang pohon besar.
Pemuda  itu  berusia  sekitar  dua  puluh  dua  tahun,  wajahnya  sederhana  seperti  pakaiannnya,
namun bentuk wajah itu tampan dan gagah. Sepasang alisnya berbentuk golok, dan sepasang
matanya mencorong sepeti mata rajawali, hidungnya mancung dan mulutnya membayangkan
semangat yang besar namun juga keramahan hati karena bibirnya selalu mengarah senyum.
Dagunya agak berlekuk, menunjukkan kekerasan yang terkandung di hati, kekerasan kemauan
yang tidak mudah ditundukkan. Pakaiannya dari kain kasar berwarna biru dan sepatunya dari
kulit hitam. Di punggungnya nampak sebatang pedang. Tubuhnya  sedang  saja namun tegap
dan berisi.
Pemuda  ini  bernama  Song  Ki  San,  seorang  pemuda  yang  tinggal  bersama  gurunya  di  tepi
hutan  yang  sunyi.  Guru  dan  murid  ini  tinggal  menyendiri,  jauh  dari  tetangga,  dan  agaknya
memang sang guru sedang bertapa atau menyepi, tidak suka hidup dalam masyarakat. Segala
kebutuhan hidup mereka dipenuhi oleh pekerjaan pemuda itu. Untuk membeli lain keperluan,
pemuda itu kadang menjual hasil buruannya atau menjual rempah-rempah yang dicarinya ke
dalam hutan kepada penghuni dusun-dusun di sekitar daerah itu.
Ki  San  terus  berlatih  silat.  Gerakannya  cepat  dan  mengandung  tenaga.  Dari  setiap  gerakan
tangannya  timbul  angin  pukulan  yang  menggoyang  daun-daun  pohon  di  sekitarnya.  Setelah
bersilat  dengan  gaya  yang  indah  dan  mantap,  dia  lalu  meloncat  dan  mencabut  pedangnya.
Nampak sinar berkelebat ketika dia mencabut pedang, menunjukkan bahwa pedang itu terbuat
dunia-kangouw.blogspot.com
dari baja yang baik sekali. Kemudian dia bersilat pedang. Sayang di situ tidak terdapat orang
lain yang menonton ilmu silat pedangnya itu. Kalau ada orang menonton, orang itu tentu akan
kagum  dibuatnya.  Mula-mula  pedang  itu  bergerak  dengan  gerakan  yang  mantap  dan  ingah,
menusuk  ke  sana,  menangkis  ke  sini,  membacok  ke  sana  dan  setiap  gerakannya
mendatangkan suara berdesing nyaring. Kemudian makin lama pedang itu digerakkan semakin
cepat sehingga akhirnya pedang dan orang tidak nampak lagi. Yang nampak hanya gulungan
sinar  pedang  yang  membungkus  tubuh  pemuda  itu  sehingga  yang  nampak  hanya  kadang
kedua  kakinya  saja  berloncatan  ke  sana  sini.  Sinar  pedangnya  bergulung-gulung  abgaikan
seekor naga bermain di angkasa, di antara awan dan mega.
“Ki  San...!”  sayup-sayup  terdengar  suara  memanggil  namanya.  Dia  sedang  asyik  bermain
pedang  dan  mencurahkan  seluruh  perhatiannya  kepada  setiap  gerakan.  Namun  karena
pendengarannya sudah terlatih baik sekali, dia dapat menangkap suara panggilan sayup-sayup
itu  dan  diapun  menghentikan  permainan  pedangnya,  menyimpan  di  punggungnya  dan
menghampiri tumpukan kayu bakar yang tadi sudah  diikatnya, memanggul di pundaknya dan
diapun berlari-lari menuju ke arah suara yang tadi memanggilnya.
“Ki San...!” suara itu memanggil dari dalam pondok. Ki San melempar tumpukan kayu bakar ke
atas tanah lalu berlari memasuki pondoknya. Suara gurunya demikian lemah. Memang sudah
sejak  sepekan  ini  gurunya  yang  akhir-akhir  ini  lemah  berpenyakitan,  hanya  rebah  di
pembaringan tidak mampu turun karena menderita sakit.
“Suhu...!”  Ki  San  memasuki  kamar  suhunya,  dan  duduk  di  tepi  pembaringan,  memandang
suhunya yang terengah-engah, napasnya satu-satu. “Suhu, kau kenapakah?”
“Ki San..., penyakitku kambuh hebat... aku... aku tidak kuat lagi...” kata orang tua yang berusia
sekitar enam puluh tahun itu.
“Suhu, apakah suhu sudah minum obat yang tadi kusediakan?” tanyanya dengan bingung.
“Sudah, tidak ada gunanya... luka lama kambuh kembali. Dengar Ki San, engkau belum tahu,
aku dahulu adalah seorang panglima yang memimpin perang dan terluka parah dalam perang,
nyaris  tewas.  Luka  itu  sembuh  akan  tetapi  sering  kali  kumat.  Dahulu  sebatang  tombak
memasuki perutku, ahh...”
“Suhu, tenanglah. Tidak baik banyak bicara, suhu perlu beristirahat.”
“Tidak, kau harus mendengar segalanya selagi... selagi aku masih kuat bicara. Dengar, Ki San,
aku mempunyai sebuah ganjalan hati... aku mempunyai seorang musuh besar. Maukah engkau
mewakili aku dan membunuh musuhku itu?”
Ki  San  terkejut.  “Akan  tetapi,  suhu.  Berulang  kali  suhu  melarang  teecu  (aku) membenci  dan
mendendam, apa lagi membunuh orang karena dendam!”
“Memang benar, akan tetapi dengarlah... orang itu... dia telah merampas satu-satunya orang
yang kucinta, merenggut wanita yang menjadi isteriku itu dari tanganku. Aku... tidak akan dapat
mati dengan mata terpejam sebelum dapat membunuhnya...! maukah engkau melakukan untuk
aku...?”
Ki San mengerutkan alisnya. Perbuatan orang itu keterlaluan sekali. Merampas isteri suhunya?
“Siapa orang itu, suhu?”
“Namanya  Kwan  Ciu  Ek  dan  tinggal  di  Wi-keng  di  selatan  Sungai  Kuning.  Dia...  dia  dahulu
adalah  sahabat  baikku...  akan  tetapi  berhati-hatilah, dia  memiliki  ilmu  kepandaian  yang  lihai.
Karena itulah maka aku menurunkan semua kepandaianku kepadamu, Ki San, dan aku yakin
sekarang engkau akan mampu mengalahkannya...”
Melihat muridnya diam saja, orang tua itu lalu berusaha untuk bangkit, akan tetapi dia tidak kuat
dan cepat Ki San menopangnya.
“Ki San, berjanjilah bahwa engkau akan mencarinya dan membalaskan sakit hatiku.”
“Baiklah, suhu. Aku berjanji!”
Baru  orang  itu  kelihatan  lega  dan  dia  tertidur  kembali.  Muridnya  menjaganya  dan  berusaha
memberinya obat, akan tetapi semua itu sia-sia belaka karena dua hari kemudian orang tua itu
dunia-kangouw.blogspot.com
meninggal  dunia  dan  pesannya  yang  terakhir  adalah  penekanan  agar  murid  itu  mau
membalaskan dendamnya terhadap orang yang bernama Kwan Ciu Ek.
Ki San menangisi kematian gurunya. Dia adalah seorang anak yatim piatu, ayah ibunya juga
meninggal dunia ketika terjadi perang. Dalam pengungsian, ayah ibunya bertemu gerombolan
penjahat dan merekapun dirampok dan dibunuh. Dia sendiri sempat melarikan diri dan terluntalunta sampai dia ditemukan gurunya dan diajak pergi. Sejak itu, sejak berusia dua belas tahun,
dia  ikut  gurunya  dan  dia  menganggap  gurunya  sebagai  pengganti  kedua  orang  tuanya.  Dia
digembleng  ilmu  silat  dan  ilmu  membaca  menulis  oleh  gurunya  yang  amat  menyayangnya.
Maka,  kini  kematian  gurunya  membuatnya  merasa  kehilangan  segala-galanya  dan  dia
menangis sedih di dalam makam gurunya yang berada di belakang pondok dan dibuat secara
sederhana  sekali.  Karena  dia  tidak  bertetangga,  maka  dia  menguburkan  jenazah  gurunya
secara diam-diam seorang diri pula sambil menangis.
Kenapa kematian seseorang selalu ditangisi? Untuk apa dan untuk siapakah orang menangisi
kematian  seseorang?  Untuk  siapakah  kedukaan  karena  kematian  itu?  Tanpa  kita  sadari,
sebetulnya  kesedihan  itu  adalah  untuk  diri  sendiri.  Bukan  untuk  si  mati.  Tidak  mungkin  kita
menyedihkan si mati karena kita tidak tahu apa yang akan terjadi dengan si mati. Kita bersedih
melihat orang sakit atau orang terhukum karena iba melihat penderitaannya. Akan tetapi mati?
Kita  tidak  tahu  apakah  yang  mati  itu  akan  menderita  ataukah  tidak,  maka  semua  tangis  itu
sebetulnya  terjadi  karena  iba  diri,  karena  kita  merasa  kasihan  kepada  diri  kita  sendiri.  Kita
ditinggal orang yang kita kasihi, kita merasa kehilangan, kesepian, karena itulah kita menangis!
Bukan karena yang mati.
Kalau  Ki  San  teringat  kepada  yang  mati,  sepatutnya  dia  bersukur  tidak  menangis.  Bersukur
karena orang yang dicintanya itu setidaknya telah terbebas dari pada rasa sakit. Tidak, diapun
tidak  menangisi  yang  mati,  melainkan  menangis  karena  merasa  ditinggalkan  dan  merasa
betapa kini dia hidup sebatang kara di dunia ini.
Akan tetapi Ki San segera dapat menghentikan tangisnya. Dia memang memiliki kekerasan hati
sehingga  dia  tidak  membiarkan  diri  berlarut-larut  dicekam  duka.  Gurunya  sudah  mati,  sudah
habis. Karena itu, dia harus melanjutkan seorang diri, dan dia bahkan ditinggali sebuah tugas
oleh gurunya. Membalas dendam! Sejak kecil gurunya sudah mengajarkan agar hatinya jangan
dikacau  dendam  kebencian,  akan  tetapi  sekali  ini  lain  lagi.  Dia  harus  melaksanakan
pembalasan  dendam itu,  setidaknya  untuk membalas  budi  suhunya  yang  bertumpuk-tumpuk.
Dia akan pergi mencari Kwan Ciu Ek dan akan dibunuhnya orang yang telah merampas isteri
suhunya  itu.  Ki  kota  Wi-keng,  di  seberang  selatang  Huang-ho,  itulah  tempat  tujuan
perjalanannya.
Pada  masa  itu  pemerintahan  amatlah  lemahnya.  Kaisar  agaknya  kurang  memperhatikan
jalannya pemerintahan dan hanya berenang di dalam kesenangan dan foya-foya sehingga para
pejabat  berkiprah  seenaknya  tanpa  ada  yang  mengawasi.  Mereka  melakukan  korupsi  besarbesaran  dan  tidak  memperhatikan  pemerintahan,  hanya  mementingkan  diri  pribadi  belaka.
Semua tugas yang harus mereka lakukan, mereka kerjakan dengan tujuan kepentingan pribadi,
maka  tentu  saja  terjadi  penyelewengan-penyelewengan  dan  korupsi.  Rakyatlah  yang
menderita,  bukan  hanya  menderita  dari  para  pejabat,  akan  tetapi  juga  menderita  dengan
tumbuhnya  banyak  gerombolan  penjahat  yang  seolah  tidak  ada  yang  mengawasi  atau
menghalangi.
Perbuatan apapun di dunia ini selalu dikerjakan orang dengan pamrih, dengan tujuan. Pada hal,
yang  penting  bukanlah  tujuannya,  melainkan  caranya.  Tujuan  hanyalah  khayal  belaka,
hanyalah keinginan tercapainya sesuatu. Akan tetapi cara adalah keadaan yang  sebenarnya,
cara  adalah  apa  yang  kita  kerjakan.  Kalau  caranya  baik,  maka  akhirnya  juga  tentu  benar.
Sebaliknya,  betapapun  mulia  tujuannya,  kalau  cara  melaksanakannya  tidak  baik  dan  tidak
benar, maka tujuan akhir itu juga tidak benar. Banyak orang memakai cara yang salah untuk
melakukan suatu tujuan dengan dalih tujuan yang mulia, yang benar. Akan tetapi hal itu tidak
mungkin  terjadi.  Cara  yang  kotor  tentu  menghasilkan  tujuan  akhir  yang  kotor  pula.  Hidup  ini
adalah cara demi cara, saat demi saat, apa yang kita lakukan sekarang ini, bukan apa yang
akan  menjadi  hasil  perbuatan  yang  kita  lakukan  sekarang.  Yang  terpenting,  kita  melakukan
segala sesuatu sebaik mungkin, tanpa pamrih demi kepentingan pribadi. Berhasil atau tidaknya,
terserah karena kita tidak kuasa untuk menentukan hasil suatu pekerjaan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Demikianlah  para  pejabat  itu.  Kalau  mereka  itu  melaksanakan  tugas  mereka  tanpa  pamrih
kepentingan  pribadi,  tanpa  tujuan  untuk  mencari  keuntungan  sebesarnya  untuk  diri  sendiri,
kalau tugas itu mereka laksanakan sebagai  suatu kewajiban, demi pekerjaan itu sendiri, maka
tentu mereka akan mendapatkan hasil yang baik bagi pemerintahan. Akan tetapi kalau semua
pejabat  melakukan  korupsi,  manipulasi,  menyalah  gunakan  wewenang  dan  kekuasaan,
menindas yang lemah menjilat yang kuat, menginjak yang bawah menghormat yang atas, maka
tentu saja akibatnya pemerintahan menjadi lemah dan buruk.
Ki  San  sedang  melangkah  seorang  diri,  membawa  buntalan  pakaian  dan  pedangnya,  dan
berjalan  melamun.  Sungai  Kuning  sudah  dekat  berada  di  depan,  kurang  lebih  satu  li  lagi.
Sawah  ladang  penduduk  sudah  mulai  nampak  subur  di  tepi  sungai,  akan  tetapi  suasananya
sunyi pada siang hari itu. Padi belum berbuah, maka tidak perlu ditunggui.
Selagi  dia  melangkah  perlahan,  dia  mendengar  suara  riuh  rendah  orang  berteriak-teriak  di
dusun sebelah kiri. Di sana terdapat sebuah dusun petani yang hidupnya mengandalkan hasil
pertanian  dan  mereka  hidup  sederhana.  Maka,  sungguh  mengherankan  di  siang  hari  itu
terdengar banyak orang berteriak-teriak. Pasti telah terjadi sesuatu yang luar biasa, pikir Ki San.
Dia  lalu  membelokkan  langkahnya  menuju  ke  dusun  itu  dan  perhatiaannya  semakin  tertarik
ketika di antara suara gaduh itu dia mendengar teriakan orang menangis. Wanita menjerit dan
tanda-tanda  bahwa  di  sana  sedang  terjadi  tindakan  kekerasan.  Ki  San  lalu  berlompatan  dan
berlari cepat memasuki dusun itu dan apa yang dilihatnya membuat darahnya bergolak panas.
Segerombolan  orang  sedang  melakukan  perampokan  di  dusun  itu.  Mereka membawa  keluar
ayam,  kambing  dan  bahkan  menuntun  sapi,  ada  pula  yang  memanggul  wanita-wanita  muda
yang  meronta-ronta  dan  menjerit-jerit,  ada  yang  sedang  memukuli  para  pria  yang  agaknya
hendak melawan mempertahankan ternak, anak gadis atau isteri mereka.
Dengan beberapa kali loncatan, Ki San sudah tiba di tempat itu dan beberapa kali tangannya
menampar dan kakinya menendang. Seorang yang memanggul wanita, melepaskan wanita itu
dan dia terpental oleh tendangan kaki Ki San, jatuh berdebuk dan bergulingan. Seorang lagi
penculik  wanita,  tiba-tiba  ditampar  kepalanya  sehingga  terpelanting  jatuh  dan  tidak  mampu
bangkit kembali.
Dua  orang  yang  sedang  memukuli  seorang  penduduk  ditangkap  oleh  Ki  San  pada  rambut
kepalanya,  dijambak  dan  kedua  kepala  itu  lalu  diadu  sehingga  keduanya  roboh  dengan
kepalanya terasa retak.
Para  perampok  yang  melihat  munculnya  pemuda  asing  ini  menjadi  marah  sekali.  mereka
mencabut  golok  dan  belasan  orang  itu  lalu  mengeroyok  Ki  San  dari  segala  jurusan.  Golok
mereka  berkelebatan  menyambar  ke  arah  tubuh  Ki  San  dengan  kemarahan  meluap  karena
mereka menganggap pemuda ini sebagai penghalang. Namun Ki San tidak menjadi gentar. Dia
melihat  bahwa  para  perampok  itu  hanyalah  orang-orang  kasar  yang  mengandalkan  tenaga
melakukan kekerasan, namun tidak ada di antara mereka yang memiliki ilmu silat yang berarti.
Oleh karena itu, dia menghadapi belasan orng itu dengan tangan kosong saja, tidak mencabut
pedangnya karena diapun tidak ingin membunuh orang.
Begitu orang-orang itu menyerbu, Ki San menggunakan keringanan tubuhnya, bergerak dengan
jurus  Kong-jiu-jip-pek-to  (Tangan  Kosong  Menyerbu  Ratusan  Golok).  Terdengar  teriakanteriakan  para  perampok  disusul  golok  mereka  beterbangan  dan  merekapun  terpelanting  ke
kanan kiri. Kemudian Ki San menggunakan ilmu tendangan Siauw-cu-twi (Tendangan Berantai)
dan dalam waktu  beberapa menit saja, semua perampok telah jatuh bangun. Mereka menjadi
gentar  sekali  dan  begitu  dapat  merangkak  bangun,  mereka  lalu  melarikan  diri  meninggalkan
semua barang rampasannya, lari tunggang langgang tanpa menoleh lagi.
Melihat ini, penduduk dusun, dipimpin oleh kepala dusun, menjatuhkan diri berlutut menghadap
Ki San untuk menghaturkan terima kasih. Akan tetapi Ki San hanya berkata, “Mulai sekarang,
saudara  sekalian  haruslah  bersatu  padu,  mempersiapkan  senjata  dan  kalau  ada  datang
gerombolan perampok, jangan takut akan tetapi keroyoklah. Bukankah jumlah saudara sekalian
jauh lebih besar dari jumlah mereka? Kalau kalian bersatu dan melawan, tidak ada gerombolan
perampok yang akan berani mengganggu.”
“Terima kasih, taihiap. Kami memang belum apa-apa  sudah merasa ketakutan. Mulai hari ini,
kami akan siap siaga melakukan perang terhadap semua perampok yang berani mengganggu
dunia-kangouw.blogspot.com
dusun kami, dan kami akan mengadakan latihan ilmu berkelahi!”
“Bagus,  modal  utama  untuk  menjaga  diri  adalah  keberanian  dan  semangat.  Nah,  selamat
menjaga  kampung  sendiri!”  Ki  San  lalu  berkelebat  lenyap  dari  depan  orang-orang  itu.  Dan
benar saja, sepeninggal Ki San, kepala dusun itu segera memanggil orang yang mengerti ilmu
silat dari kota, menyuruh semua warganya mempelajari ilmu silat walaupun tidak terlalu banyak,
dan melakukan penjagaan ketat sehingga tidak ada lagi perampok berani mencoba-coba untuk
mengganggu dusun itu.
Akan tetapi urusan itu tidak habis di situ saja bagi Ki San. Kepala perampok yang dihajar babak
belur itu merasa penasaran dan sakit hati sekalo. Dia lalu menghubungi rekannya yang menjadi
bajak di sepanjang Sungai Huang-ho daerah itu, dan dengan berbohong dia melaporkan bahwa
ada seorang pemuda yang membawa uang banyak, akan tetapi pemuda itu lihai sekali. Mereka
lalu  bersekongkol  untuk  menjebak  dan  membajak  pemuda  itu  kalau  nanti  melakukan
penyeberangan.
Menjelang  sore  hari,  benar  saja  muncul  Ki  san  di  tepi  sungai  dan  dia  mencari-cari  tukang
perahu untuk membawanya ke  seberang  sungai. Selagi dia celingukan ke kanan  kiri, datang
sebuah  perahu  kecil  yang  ditumpangi  seorang  tukang  perahu  yang  membawa  jala.  Seorang
nelayan rupanya.
“Heii, paman tukang perahu, maukah engkau menyeberangkan aku ke seberang sana? Berapa
biayanya akan kubayar.”
“Menyeberang?  Tentu  saja  kalau  bayarannya  cukup  memadai  karena  tadinya  aku  hendak
menjala ikan, orang muda,” kata nelayan setengah tua itu.
“Jangan khawatir, aku akan membayarmu cukup seperti yang kauminta. Pinggirkan perahumu,
paman.”
Tukang  perahu  mendayung  perahunya  ke  tepi  dan  Ki  San lalu melangkah  ke  dalam  perahu.
Perahu didayung ke tengah. “Mudah-mudahan kita akan sampai ke sana sebelum malam tiba,
paman.”
“Tentu dapat, orang muda, jangan khawatir.”
Bagian dari sungai itu sunyi dan tidak nampak perahu lain. Akan tetapi ketika perahu tiba di
tengah  sungai,  dari  kanan  kiri  mendatangi  belasan  buah  perahu  dengan  orang-orang
berpakaian hitam dan nampak bengis, setiap perahu ditumpangi dua orang dan perahu-perahu
itu sengaja mengepung dan menghadang perahu yang ditumpangi Ki San.
“Siapakah mereka, paman?” tanya Ki San sambil mengerutkan alisnya.
“Celaka, orang muda, mereka adalah bajak-bajak sungai,” kata nelayan setengah tua itu.
“Jangan takut, aku akan melawan mereka!” kata Ki San.
Di atas sebuah di antara perahu-perahu itu, seorang laki-laki tinggi besar dan brewokan berdiri
di kepala perahu dan orang itu menudingkan golok besarnya ke arah Ki San.
“Orang muda, kalau ingin selamat, tingglkan buntalan dan semua barang milikmu!”
“Kalian ini bajak-bajak yang ngawur saja,” kata Ki San dengan  tenang. “Aku tidak mempunyai
apa-apa,  buntalan  ini  hanya  berisi  pakaian  yang  tidak  berharga.  Jangan  menggangguku  dan
biarkan perahu ini lewat!”
“Orang muda sombong, berani engkau membantah perintahku! Rampas barang-barangnya!”
Empat  orang  bajak  melompat  ke  ats  perahu  kecil  yang  ditumpangi  Ki  San.  Namun  Ki  San
menyambar  mereka  dengan  tendangan  dan  tamparan  yang  membuat  ke  empatnya  roboh
terpelanting  ke  dalam  air.  Bajak-bajak  dari  perahu  lain  menggunakan  tombak  panjang  untuk
menyerang  dari  kanan  kiri.  Karena  serangan  itu  berbahaya  sekali  baginya,  Ki  San  lalu
mencabut  pedangnya  dan  setiap  kali  dia  menangkis  dengan  pedangnya,  ujung  tombak  atau
dayung  yang  dipergunakan  mereka  untuk  menyerangnya,  patah-patah!  Hal  ini  mengejutkan
para bajak laut, dan baru mereka mendapatkan kenyataan betapa keterangan rekan perampok
mereka itu benar adanya. Pemuda ini lihai sekali.
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan  tetapi,  tukang  perahu  yang  tadinya  nampak  ketakutan,  mendadak  membungkuk  dan
mencabut  kayu  yang  dipakai  menyambat  perahunya  yang  bocor  berlubang,  lalu  diapun
melompat ke dalam air. Kiranya tukang perahu atau nelayan itu hanyalah nelayan palsu, karena
diapun  sebenarnya  anggauta  bajak  yang  memang  sengaja  bertugas  sebagai  umpan.
Perahunya  adalah  perahu  yang  sudah  dilubangi  dan  disumbat  dengan  kayu.  Maka  ketika
penyumbatnya  dicabut  oleh  tukang  perahu  itu,  air  lalu  dengan  derasnya  masuk  ke  dalam
perahu. Ki San yang sedang menangkisi tomobak-tombak yang menyerangnya, tidak tahu akan
perbuatan si tukang perahu. Setelah tukang peahu itu meloncat ke dalam air  dan dia melihat
perahu  bocor,  barulah  dia  tahu.  Sekali ini  Ki  San  tidak  dapat  bersikap  tenang  lagi.  Dia  tidak
begitu pandai berenang dan perahunya bocor, terancam tenggelam.
Biarpun  demikian,  Ki  San  masih  melawan  terus  dan  perahu  sudah  tenggelam  sampai  di
pahanya. Dia bertekad melawan terus sampai napas terakhir.
Akan tetapi, pada saat itu, datang meluncur sebuah perahu lain yang ditumpangi seorang gadis
berpakaian  merah  muda.  Begitu  memasuki  daerah  pertempuran  itu,  gadis  ini  sudah
menggunakan  pedangnya  mengamuk  dan  menyerang  para  bajak,  lalu  mendekati  perahu  Ki
San. Gerakan pedangnya cukup hebat sehingga banyak perahu bajak yang terpaksa mundur.
“Cepat  melompat  ke  perahuku  ini!”  kata  gadis  itu  yang  melihat  betapa  tubuh  Ki  San  sudah
hampir  tenggelam.  Ki  San  tidak  dapat  melompat,  lalu  meraihkant  tangannya  ke  perahu  itu,
berhasil memegang tepi perahu dan sekali mengayun tubuhnya dia sudah berada di perahu si
gadis.
Gadis itu mendayung perahunya menjauh, akan tetapi tiba-tiba perahunya terguncang. Tahulah
dia  bahwa  para  bajak  lalu  menggunakan  kepandaian  mereka  di  dalam  air  dan  dengan
menyelam  dan  berenang  mereka  hendak  menggulingkan  perahunya!  Dia  lalu  bangkit  berdiri
dan  dayungnya  menghantam  ke  kanan  kiri,  mengenai  tangan-tangan  yang  memegangi
perahunya dari bawah.
“Plak-plak-desss...!” bajak-bajak itu menjadi kesakitan dan gadis itu berkata kepada Ki San.
“Bantu aku, gunakan pedangmu dan serang tangan-tangan mereka!”
Akan  tetapi  Ki  San  tidak  tega  untuk  membuntungi  lengan  orang.  Dia  melihat  perahu  dan
dayungnya terapung menelungkup di atas air maka dia meraih dayungnya dan dengan dayung
itu  dia  kini  menjaga  sambil  berdiri  di  perahu.  Setiap  kali  ada  kepala  atau  tangan  tersembul
dekat perahu, segera dihantamnya dengan dayung. Gadis itu kini dapat mendayung perahunya
menjauh dan tak lama kemudian perahu telah dapat sampai ke tepi sungai. Keduanya meloncat
ke darat dan siap melawan dengan pedang mereka. Akan tetapi, para bajak laut itu agaknya
menjadi jerih dan merekapun memutar perahu mereka dan meninggalkan tempat itu.
Setelah  para  bajak laut itu  pergi,  barulah  Ki San menghadapi  gadis  itu.  Dia melihat  seorang
gadis yang berusia sekitar dua puluh tahun, tubuhnya sedang dan ramping, pakaiannya serba
merah muda dan ringkas, rambutnya digelung ke atas, badannya tidak mengenakan perhiasan
namun tidak mengurangi kecantikannya. Rambut itu hitam dan panjang, sehitam alisnya yang
kecil  melengkung.  Matanya  lembut,  namun  kadang  dapat  mencorong  seperti  mata  burung
Hong,  hidungnya  kecil  mancung  dan  mulutnya  indah,  dihias  lesung  pipit  di  sebelah  kanan
bibirnya  dan  sebuah  tahi  lalat  hitam  kecil  di  sebelah kiri  bibirnya.  Seorang  gadis  yang  cantik
jelita, dan gagah perkasa.
“Nona,  sungguh  beruntung  sekali  aku  dapat  bertemu  dengan  nona.  Pertolongan  nona  telah
menyelamatkan nyawaku. Tak tahu aku bagaimana harus berterima kasih kepadamu.”
“Jangan berterima kasih. Sudah semestinya kalau aku menentang pada bajak laut yang jahat
itu dan menolong orang yang mereka bajak, siapapun dia orangnya.”
“Engkau  bijaksana  sekali,  nona.  Dalam  sehari  aku  bertemu  dengan  banyak  orang  jahat,
pertama segerombolan perampok yang dapat kupukul mundur, baru beberapa jam saja sudah
bertemu lagi gerombolan bajak sungai yang kejam. Kukira tidak ada lagi manusia baik di dunia
sampai aku bertemu denganmu!”
Gadis itu menghela napa panjang. “Memang sekarang banyak sekali gerombolan penjahat dan
di  daerah  ini,  yang menjadi  pusatnya  adalah  gerombolan  yang menamakan  dirinya  Hek-coa-
dunia-kangouw.blogspot.com
pang  (Perkumpulan  Ular  Hitam).  Bahkan  para  bajak  sungan  dan  perampok,  semua  tunduk
kepada perkumpulan itu yang dipimpin oleh seorang datuk sesat yang lihai.”
“Hemm, apakah para pejabat daerah yang memiliki pasukan penjaga keamanan tidak ada yang
turun tangan membasminya?”
“Huh,  mana  ada  petugas  keamanan  yang  membasminya?  Bahkan  aku  mendengar  Hek-coapang  itu  dilindungi  karena  setiap  bulan  mengirim  upeti  kepada  pejabat-pejabat  yang
berwenang.”
“Celakalah rakyat kalau begitu!”
“Begitulah,  dan  hanya  menjadi  kewajiban  orang-orang  seperti  kita  ini  untuk  menentang  dan
membasminya.”
“Nona, aku kagum sekali  kepadamu. Perkenalkan, namaku Song Ki San, seorang yang hidup
sebatang kara dan yatim piatu, tidak mempunyai keluarga di dunia ini. Aku seorang perantau,
nona dan kebetulan lewat di daerah ini.”
“Aku melihat bahwa engkaupun seorang gagah, saudara Song. Aku  tadi melihat engkau tidak
mau menyerah  walaupun  perahumu  sudah  hampir tenggelam.  Aku  bernama  Yo  Li  Lian,  aku
tinggal di kota Wi-keng.”
Ki San terkejut mendengar disebutnya kota itu. “Wi-keng...?”
“Kenapa, saudara Song?”
“Ah, tidak apa-apa,” Ki San menenteramkan hatinya. Dia merasa tidak perlu menyebut tentang
musuh besarnya di kota Wi-keng. “Hanya rasanya aku pernah mendengar tentang kota Wi-keng
itu? Bukankah letaknya di seberang sana, sebelah selatang Huang-ho?”
“Benar, dan keadaan di selatang Huang-ho yang lebih subur itu jauh bedanya dengan sebelah
utara ini. Di selatan banyak terdapat pendekar yang  menentang para penjahat, juga petugas
masih melaksanakan tugasnya dengan baik. Maka di sana tidaklah begini rusuh seperti di sini,
di mana kejahatan merajalela mengganggu kehidupan rakyat jelata.”
“Alangkah baiknya kalau para pendekar suka bergerak membasmi gerombolan-gerombolan itu.
Aku  tadi  sudah  memberi  nasihat  kepada  penduduk  dusun  yang  diserang  perampok  agar
mereka  itu  bersatu,  tidak  menyerah  kepada  perampok.  Jumlah  penduduk  amat  besar,  kalau
mereka bersatu dan melawan, kuyakin para perampok itu tidak akan mampu merajalela.”
“Benar,  memang  rakyat  harus  digerakkan  untuk  bersatu  dan  melawan,  demi  keselamatan
mereka  sendiri.  Kebanyakan  rakyat  belum  apa-apa  sudah  ketakutan  dan  hanya  menyerah
dibuat  sesuka  hati  para  penjahat.  Oya,  saudara  Song,  kebetulan  sekali  bertemu  denganmu.
Bagaimana kalau engkau membantuku?”
“Membantu apakah, nona?”
“Aku sedang berusaha untuk membasmi gerombolan Ular Hitam itu. Kalau aku  mendapatkan
bantuanmu, tentu akan lebih mudah membasminya!”
Ki  San  memandang  kagum.  Seorang  gadis  berusia  dua  puluh  tahun,  seorang  diri  hendak
menghadapi gerombolan yang buas! Sungguh merupakan kegagahan yang luar biasa. “Tentu
saja  aku  suka  membantumu,  nona.  Akan  tetapi  kauceritakan  dulu  keadaan  gerombolan  itu,
agar aku lebih jelas mengenalnya.”
“Mari  kita  duduk  di  dalam  perahu  lagi,  saudara  Song.  Lebih  enak  kita  bicara  di  sana  dan
sebaiknya malam ini juga kita melanjutkan perjalanan melalui air, lebih mudah dan enak, apa
lagi malam ini terang bulan.”
“Menuju ke tempat gerombolan Ular Hitam?”
“Ya,  tempat  atau  sarangnya  di  sana  itu,  di  Bukit  Ular  Hitam,”  ia  menuding  ke  arah  barat  di
mana nampak sebuah bukit yang sudah nampak menghitam menjelang senja itu.
Keduanya  lalu  duduk  di  atas  perahu  dan  masing-masing  memegang  sebatang  dayung.  Lalu
gadis  itu  menarik  napas  panjang.  “Gerombolan  Ular  Hitam  itu  sebetulnya  tidak  mempunyai
dunia-kangouw.blogspot.com
banyak  anak  buah,  paling  banyak  hanya  dua  puluj  orang,  akan  tetapi  karena  ketuanya  lihai
sekali,  maka  banyak  gerombolan  penjahat  takluk  dan  selalu  mengirim  sebagian  hasil
perampokan atau bajakannya.”
“Nona, siapakah ketua dari gerombolan itu?”
“Saudara Song Ki San, harap jangan sebut aku nona. Setelah kita bersahabat dan akan bekerja
sama  membasmi gerombolan, terdengar terlalu sungkan dan tidak akrab sebutan itu. Namaku
Li Lian, Yo Li Lian.”
“Nama margamu Yo?” Ki San teringat akan nama marga gurunya, yang bernama Yo Kiat. “Lalu
aku harus menyebut apa? Bagaimana kalau kusebut adik Lian?”
“Senang sekali, saudara Song.”
“Nah, kalau aku menyebut adik, sepantasnya engkau menyebut kakak kepadaku, Lian-moi.”
“Baiklah, San-ko (Kakak San). Nah, begini lebih enak, bukan? Apa pertanyaanmu tadi? Nama
ketua  gerombolan  itu?  Dia  seorang  datuk  sesat  dan  nama  julukannya  ya  Ular  Hitam  itulah.
Namanya Bong Kit Siong, jadi nama lengkapnya Hek-coa Bong Kit Siong. Dia terkenal sekali
dengan permainan siang-tonya (sepasang golok).”
“Dan engkau berani seorang diri hendak menyerbu ke sana?”
“Aku  mempunyai  seorang  sahabat  perempuan  yang  pada  suatu  hari,  sepekan  yang  lalu
melakukan  perjalanan menyeberang  Huang-ho  ke  utaran  dan  temanku  itu  bersama  ayahnya
diserang  gerombolan  Ular  Hitam.  Ayahnya  tewas  dan  temanku  itu  diculik.  Karena  itulah  aku
sekarang  memberanikan  diri  untuk  melakukan  penyelidikan,  kalau  mungkin  aku  akan
menyelamatkan sahabatku itu dan menewaskan Hek-coa Bong Kit Siong agar agak amanlah
keadaan di daerah ini.”
“Jahat sekali! engkau benar, Lian-moi. Memang penjahat seperti dia harus dibasmi. Aku senang
sekali engkau mengajak aku.”
Perahu itu lewat di sebuah dusun di tepi sungai. “Kita berhenti dulu, aku akan mencari makanan
di dusun itu untuk kita berdua makan malam.”
Ki San mengangguk dan dia merasa senang sekali. seorang gadis yang cantik, gagah perkasa
dan  bijaksana.  Mereka  mendayung  perahu  ke  tepi  dan  Li  Lian  meloncat  ke  darat,  lalu
menghilang di antara rumah-rumah dusun. Tak lama kemudian ia sudah tiba kembali membawa
roti  kering  dan  dendeng,  juga  seguci  air  teh.  Mereka  lalu  makan  minum  di  perahu  itu  dan
setelah  selesai  mereka  melanjutkan  perjalanan.  Malam  itu  mereka  mendayung  bergantian.
Kalau yang seorang mendayung, yang lain rebah dan mencoba untuk tidur.
Pada keesokan harinya, tibalah mereka di kaki bukit Ular Hitam itu. Agaknya, anak buah Ular
Hitam  memang  tidak  pernah  melakukan  penjagaan  karena  mereka  yang  menguasai  seluruh
daerah itu menganggap bahwa tidak akan ada orang berani datang memusuhi mereka. Para
gerombolan  berdatangan  ke  bukit itu  hanya  untuk membagi  hasil  rampokan mereka. Mereka
hidup enak-enak di situ, menikmati hasil pembagian para gerombolan.
Karena  itu,  dengan  mudah  Ki  San  dan  Li  Lian  menyusup  sampai  ke  lereng  yang  menjadi
sarang gerombolan itu. Sarang itu merupakan sebuah perkampungan kecil dengan dua puluh
lebih  buah  rumah  yang  lu mayan  terbuat  dari  pada  kayu  dan  di  situ  anak  buah  gerombolan
tinggal bersama keluarga masing-masing. Di tengah terdapat sebuah rumah besar dan itulah
tempat tinggal Hek-coa Bong Kit Siong.
Hari masih pagi dan para anggauta gerombolan yang biasa hidup bermalas-malasan itu belum
ada  yang  bangun.  Ki  San  dan  Li  Lian menyelinap  ke  atas.  Ketika melihat  seorang  anggauta
gerombolan berada di samping rumahnya, masih nampak malas-malasan, Ki San lalu meloncat
dan sekali menggerakkan tangannya, dia telah menotok roboh orang itu dan diseretnya tubuh
orang itu di balik semak-semak di mana telah menunggu Li Lian.
“Hayo  katakan  di  mana  gadis  bernama  Ciu  Kwan  Bi  berada!  Kalau  engkau  tidak  mengaku,
pedang ini akan menyembelih lehermu!” Li Lian berkata sambil menempelkan pedang di leher
anak buah Hek-coa-pang itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Orang itu menjadi pucat sekali wajahnya. “Semua tawanan berada di rumah tawanan, nona...
aku... aku mohon ampun...”
“Hemm, berapa orang tawanan berada di sana? Dan mereka itu siapa saja?”
“Ada  belasan  orang,  sepuluh  wanita  dan  lima  orang  pria.  Mereka  ditawan  menanti  uang
tebusan.”
“Dan nona Ciu Kwan Bi?”
“Ia... ia hendak diperisteri pangcu, tapi masih belum mau.. dan ia ditawan, pekan depan akan
dipaksa menikah dengan pangcu.”
“Jahanam  busuk!”  Li  Lian  memaki  dan  pedangnya  ditempelkan  semakin  kuat  ke  leher  itu
sehingga yang mempunyai leher meringis kesakitan.
“Hayo, antar kami ke rumah tahanan itu,” bentak Li Lian.
“Baik, nona...”
Dengan  berindap-indap  kedua  orang  pendekar  itu  lalu  menggiring  anak  buah  gerombolan
menuju  ke  sebuah  rumah  besar  yang  letaknya  di  belakang  rumah  tinggal  Hek-coa  Bong  Kit
Siong. “Itulah tempatnya, nona, aku... aku tidak berani maju lagi... di sana terjaga...”
“Biar aku yang menyelinap masuk,” kata Ki San dan Li Lian mengangguk menanti di luar rumah
itu sambil menodongkan pedangnya kepada anak buah gerombolan yang menjadi tawanannya.
Dua orang penjaga rumah tahanan itu terkejut ketika tiba-tiba ada seorang pemuda muncul di
depan mereka. Keduanya duduk menghadapi meja dan melihat seorang pemuda asing, mereka
terkejut dan menegur sambil mencabut golok.
“Hei, siapa engkau...”
Akan  tetapi  jawaban  yang  mereka  peroleh  adalah  tangan  yang  menyambar  cepat  mengenai
pundak  dan  dada  sehingga  mereka  roboh  terkulai  dalam  keadaan  tertotok. Tidak tahunya  di
sebelah damlam juga ada dua orang penjaga yang menjadi terkejut mendengar suara gaduh di
luat. Ketika mereka melihat bahwa dua orang rekan mereka dirobohkan seorang pemuda asing,
mereka lalu memukul kentungan dan segera menggunakan golok menyerang Ki San. Pemuda
ini menangkap pergelangan mereka, dan begitu kakainya bergerak menendang, kedua orang
itu terjengkang dan tidak mampu bangkit kembali. Ki San merampas sebatang golok lalu masuk
ke dalam. Benar saja di sebelah dalam terdapat kamar-kamar tahanan yang terisi para tahanan,
lima belas orang jumlahnya, sepuluh orang wanita dan lima orang pria. Ki San membikin putus
rantai  pintu  kamar-kamar  itu  dan  semua  tahanan  disuruhnya  keluar.  Ketika  dia  mengantar
mereka  keluar,  ternyata  keadaannya  sudah  ribut.  Semua  anak  buah  gerombolan  telah
terbangun  oleh  kentungan  dan  dia  melihat  Li  Lian  dikeroyok  banyak  orang  anak  buah
gerombolan, bahkan tampak seorang laki-laki tinggi besar yang menggunakan sepasang golok
dengan lihainya. Dia menduga bahwa orang tinggi besar itu tentulah Hek-coa Bong Kit Siong,
maka  diapun  menerjang  dan  merobohkan  beberapa  orang  anak  buah  gerombolan  yang
menyambutnya  dengan  golok.  Sekali  ini  dia  menggunakan  pedangnya  dan  hatinya  khawatir
sekali melihat betapa Li Lian bergerak dengan terhuyung-huyung. Gadis itu terluka!
Dugaannya memang benar. Tadi, ketika Li Lian menanti sambil menodongkan pedangnya pada
leher  tawanannya,  tiba-tiba  terdengar  bunyi  kentungan.  Li  Lian  tahu  bahwa  tentu  kawannya
sudah  ketahuan  penjaga,  maka  pedangnya  digerakkan  dan  tawanannya  roboh  terguling.
Bermunculan  banyak  sekali  anak  buah  gerombolan  yang  melihatnya.  Li  Lian  mengamuk
dengan pedangnya. Akan tetapi, dalam menghadapi pengeroyokan banyak orang itu, tiba-tiba
ada  paku  menyambar.  Paku  itu  dilepas  oleh  Hek-coa  Bong  Kit  Siong.  Li  Lian  tidak  mampu
menghindarkan  diri.  Paku  itu menuju  ke  lehernya  dan  ia  hanya  dapat  memiringkan  lehernya
namun  paku  masih  menyambar  dan  menancap  di  pundak  kirinya.  Nyeri  bukan  main  rasa
pundaknya itu, akan tetapi Li Lian tidak menjadi gentar bahkan mengamuk semakin hebat. Kini
Hek-coa Bong Kit Siong sendiri dengan  sepasang  goloknya menyambut amukannya, dibantu
oleh banyak anak buahnya sehingga Li Lian yang sudah terluka tiu menjadi terhuyung dan tidak
leluasa gerakan pedangnya.
Untung baginya pada saat itu  Ki San keluar dan menerjang ke arah para pengeroyoknya yang
dunia-kangouw.blogspot.com
menjadi  kacau  balau.  Ki  San  cepat  menggunakan  pedangnya  menyerang  Hek-coa  Bong  Kit
Siong  sedangkan  Li  Lian  hanya  melayani  pengeroyokan  beberapa  orang  anak  buah
gerombolan karena sebagian besar dari anak buah gerombolan itu mengeroyok Ki San.
Pemuda itu mengamuk dan mengeluarkan semua ilmu pedangnya, juga mengerahkan seluruh
tenaganya. Banyak golok beterbangan karena patah-patah bertemu dengan pedangnya dan dia
terus  mendesak  ke  arah  Hek-coa  Bong  Kit  Siong.  Demikian  pula  Li  Lian  mengamuk  dan  ia
merasa  agak  ringan  karena  yang  mengeroyoknya  hanya  lima  orang  saja.  Biarpun  pundak
kirinya tertancap paku dan terasa panas dan nyeri sekali, namun ia masih berhasil merobhkan
lawannya satu demi satu.
Sementara itu, Ki San yang mengamuk juga sudah membuat semua anak buah Hek-coa-pang
kocar-kacir dan kini tinggal Hek-coa Bong Kit Siong seorng saja yang melawannya. Datuk sesat
ini  memang  cukup  lihai.  Sepasang  goloknya  ternyata  merupakan  senjata  yang  ampuh  pula,
tidak patah bertemu dengan pedang Ki San. Dan dia pandai bermain golok sambil bergulingan
di atas tanah sehingga agak sulit bagi Ki San untuk merobohkannya.
Tiba-tiba  Li  Lian  datang  membantunya.  Setelah  lima  orang  pengeroyoknya  roboh  pula  dan
melihat betapa  Ki San masih belum dapat mengalahkan Hek-coa Bong Kit Siong, Ku Lian lalu
menerjang  kepala  gerombolan  itu  dengan  pedangnya.  Kini,  si  Ular  Hitam  itu  dikeroyok  dua.
Tentu saja dia menjadi kewalahan  sekali. tadipun melawan Ki San dia  sudah tersesak hebat
dan  hanya  mampu  bertahan  saja.  Kini  dengan  masuknya  Li  Lian  yang  lihai,  dia  tidak  kuat
bertahan  lama.  Setelah  lewat  belasan  jurus  saja,  pedang  Li  Lian  telah  berhasil  menusuk
lambungnya  dan  diikuti  pedang  Ki  San  yang  menembus  dadanya.  Kepala  gerombolan  yang
selama ini ditakuti semua orang di tepi Sungai Kuning sebelah utara itu tewas seketika.
Karena anak buah gerombolan yang belum tewas sudah melarikan diri, Ki San dan Li Lian lalu
membakar  sarang  gerombolan  itu  dan  menggiring  para  tawanan  itu  turun  dari  bukit  untuk
pulang  ke  rumah  masing-masing.  Ciu  Kwan  Bi,  gadis  berusia  delapan  belas  tahun  yang
menjadi sahabat dan tetangga Li Lian, ikut pulang bersama para tahanan yang lain, karena ada
beberapa orang pula yang sekampung dengannya. Mereka menggunakan perahu-perahu milik
para  penjahat  itu  dan  mereka  disuruh  berangkat  lebih  dulu  karena  Li  Lian  perlu  mengobati
lukanya.
Mereka  berdua  duduk  di  bawah  pohon,  melihat  api  yang  membakar  sarang.  “Bagaimana
dengan lukamu, Lian-moi? Mari kuperiksa dan kuobati.”
Karena  terpaksa,  Li  Lian  membiarkan  baju  di  bagian  dadanya  dibuka  sedikit  dan  Ki  San
mengerutkan  alisnya  melihat  paku  masih  menancap  di  situ  dan  di  sekitar  luka  itu  nampak
kehitaman.  “Ah,  paku  beracun!  Akan  tetapi  hangan  lhawatir,  aku  membawa  obat  luka
keracunan pemberian mendiang suhuku,” kata Ki San.
“Jahanam  itu  melepas  senjata  rahasia  selagi  aku  sibuk  menghadapi  pengeroyokan.  Untung
tidak masuk ke leherku,” kata Li Lian, ngeri memikirkan paku itu mengenai lehernya, tentu ia
sudah tewas saat ini.
“Maaf, Lian-moi. Aku harus mencabut paku ini dan menghisap keluar racunnya.”
“Lakukanlah,  San-ko  dan  jangan  sungkan,”  kata  Li  Lian,  akan  tetapi  tetap  saja  mukanya
berubah kemerahan dan jantungnya berdebar tidak karuan ketika bibir pemuda itu menyentuh
pundaknya dan menghisap. Setelah darah yang keluar dihisap berwarna merah, barulah Ki San
menghentikan penghisapannya dan menaruh bubuk obat merah kepada luka itu, lalu dibalutnya
dengan sapu tangan milik Li Lian.
“Terima  kasih,  San-ko.  Mungkin  engkau  telah  menyelamatkan  nyawaku  dengan  pengobatan
ini.”
“Sudahlah,  di  antara  kita  sudah  sepatutnya  saling  bantu  membantu,  tidak  ada  terima  kasih.
Sekarang engkau hendak ke mana, Lian-moi?”
“Pulang.”
“Ke Wi-keng? Kebetulan akupun hendak ke sana. Kita dapat naik perahu bersama, aku yang
mendayung karena pundakmu tentu masih sakit.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Mereka  lalu  menumpang  perahu  yang  tadi  dan  Ki  San  mendayungnya  ke  seberang.  Dalam
pelayaran  ini,  terdapat  sesuatu  yang  aneh  dalam  perasaan  mereka  kalau  saling  pandang.
Terdapat  kemesraan  yang  belum  pernah mereka  alami  sebelumnya.  Begitu  bertemu mereka
sudah  saling  cocok  dan  kerja  sama membasmi  gerombolan  Ular  Hitam itu membuat mereka
merasa  saling  suka.  Apa  lagi  setelah  Ki  San  mengobati  pundak  Li  Lian.  Dari  pandang  mata
mereka, keduanya sudah menyuarakan isi hati masing-masing.
Ayah  ibu  Li  Lian  menyambut  puteri  mereka  dengan  bangga.  Mereka  sudah  mendengar  dari
para tawanan gerombolan yang pulang lebih dahulu betapa Li Lian bersama seorang pemuda
telah  berhasil  membasmi  gerombolan  Ular  Hitam  dan  membebaskan  semua  tawanan,
membakar sarang gerombolan!
Li Lian memperkenalkan Ki San kepada ayah ibunya. “Ayah dan ibu, inilah saudara Song Ki
San  yang  telah  membantuku  membasmi  gerombolan  Ular  Hitam.  Tanpa  bantuannya,  belum
tentu  aku  berhasil  bahkan  aku  terluka  paku  beracun,  untung  ada  San-ko  yang
menyelamatkanku.”
Ayah  ibunya menjadi  girang menyambut  Ki San.  “Li Lian,  engkau  terlalu  pemberani.  Kenapa
tidak  bicara  dulu  dengan  ayahmu?  Kalau  aku  pergi  bersamamu,  tentu  engkau  tidak  sampai
terluka. Akan tetapi sudahlah, engkau memang petualang besar dan untung dibantu oleh orang
muda yang gagah ini. Orang muda, siapakah gurumu?”
“Guruku bernama Yo Kiat, sekarang telah meninggal dunia.”
“Yo  Kiat...?”  ayah  dan  ibu  Li  Lian  berteriak  dan  memandang  kepada  Ki  San  dengan  mata
terbelalak.
“Paman agaknya sudah mengenal mendiang suhuku?”
“Nanti  dulu, coba  gambarkan  bagaimana  bentuk tubuh  dan  wajah  gurumu  yang  bernama  Yo
Kiat itu, karena banyak orang yang namanya sama.”
Dengan heran Ki San menggambarkan keadaan mendiang gurunya.
“Ada  luka  memanjang  di  leher  kirinya?”  teriak  ibu  Li  Lian,  “tidak  salah  lagi,  dia  memang  Yo
Kiat!” dan ibu ini tiba-tiba menangis sedih.
“Apa artinya semua ini, paman? Apakah paman dan  bibi sudah mengenal Yo Kiat mendiang
suhuku?”
Li Lian juga merasa heran dan merangkul ibunya yang menangis.
“Ibu, ada apakah? Apakah ibu mengenal mendiang guru San-ko?”
“Ki San, tentu saja aku mengenal mendiang suhumu. Namaku adalah Kwan Ciu Ek dan...”
“Bagus!” tiba-tiba Ki San meloncat ke belakang dan mencabut pedangnya, lalu menudingkan
pedangnya  ke  arah  muka  tuan  rumah itu.  “Kwan  Ciu  Ek,  aku  datang memenuhi  pesan  suhu
untuk membunuhmu!”
Kwan  Ciu  Ek  menghela  napas  panjang.  “Dia  meninggalkan  pesan  begitu  kepadamu?  Untuk
membunuhku?”
“Ya, dendamnya ditahan selama bertahun-tahun dan karena dia sendiri menderita luka parah
maka  dia  menyuruh  aku  menggantikannya  membalaskan  dendamnya.  Bangkitlah,  Kwan  Ciu
Ek, dan mari kita selesaikan perhitungan antara mendiang guruku denganmu!”
“Tenanglah, Ki San dan mari kita bicarakan dulu masalahnya.”
“Tidak ada yang perlu dibicarakan. Aku sudah berjanji kepada mendiang suhu untuk memenuhi
pesannya/”
“Kau tahu mengapa gurumu mendendam kepadaku?”
“Karena engkau telah merampas satu-satunya orang yang dicintanya, yaitu isterinya selagi dia
pergi memimpin pasukan berperang.”
Kwan Ciu Ek mengangguk-angguk. “Ia inilah isteri gurumu, Ki San. Dengar, bukannya aku takut
dunia-kangouw.blogspot.com
melawanmu, belum tentu engkau akan dapat mengalahkan aku, akan tetapi aku menyayangi
dirimu  kalau  melakukan  tindakan  ceroboh,  seperti  yang  telah  dilakukan  gurumu  ketika
memesan  kepadamu  untuk  membalas  dendam  kepadaku.  Duduklah  dan  dengarkan  dulu
keteranganku.  Nanti  setelah  engkau  mendengarkan  kesemuanya,  terserah  kepadamu  akan
melanjutkan pembalasan dendam ini ataukah tidak.”
Melihat Ki San masih meragu, Li Lian melepaskan rangkulan dari leher ibunya dan meloncat
berdiri menghadapi  Ki  San. “San-ko, kalau  engkau menantang  ayahku,  aku  akan  melupakan
persahabatan kita, dan akulah yang akan mewakili ayah menghadapi tantanganmu!”
Ki  San  menjadi  serba  salah  dan  dia  menyarungkan  kembali  pedangnya,  lalu  duduk  dan
berkata, “Aku siap mendengarkan semua penjelasan paman.”
“Nah, ketahuilah keadaan yang sebenarnya, Ki San. Dua puluh tahun yang lalu, gurumu adalah
seorang  panglima  besar.  Aku  adalah  seorang  sahabatnya,  bahkan  kami  pernah  belajar  silat
bersama. Demikianlah, aku juga mengenal isteri gurumu. Ketika pada suatu hari gurumu maju
berperang untuk menindas pemberontakan di utara, dia memesan agar aku suka mengamatamati isterinya dan menjaganya.”
Kwan  Ciu  Ek  menghela  napas  dan  agaknya  dia  merasa  duka  akan  semua  kenangan  itu.
“Kemudian  tersiar  berita  bahwa  pasukan  gurumu  itu  kalah,  dihancurkan  oleh  musuh.  Kami
menunggu-nunggu, akan tetapi gurumu tidak juga pulang dan menurut kabar angin dari para
perajurit,  gurumu  telah  gugur  atau  melarikan  diri  karena  takut  menghadapi  pertanggungan
jawab atas kekalahan yang dideritanya. Sayangnya, Kaisar percaya akan desas-desus terakhir
itu,  bahwa  gurumu  melarikan  diri  tidak  berani  bertanggung  jawab.  Ini  merupakan  dosa  dan
keluarganya  harus  ditangkap  untuk  mempertanggung  jawabkan  dosa  itu,  atau  untuk
memancing agar gurumu mau pulang. Melihat ancaman ini, aku lalu membawa isteri gurumu
untuk pergi dari kota raja. Kami menanti-nanti sambil mencari sampai isteri gurumu melahirkan
seorang  anak.  Ketahuilah  bahwa  isteri  gurumu  telah  mengandung  muda  ketika  suaminya
berangkat berperang. Nah, isterinya melahirkan dan setelah bertahun menanti dan suaminya
tidak  juga  muncul,  kami  berpendirian  bahwa  suaminya  itu  memang  telah  gugur  di  medan
perang, bukan lari dari tanggung jawabnya. Demi nasib isteri gurumu dan karena memang kami
saling  setuju,  makan  aku  lalu  menikahi  isteri  gurumu  dan  anak  yang  terlahir  itu  kuanggap
anakku sendiri.”
“Ayah...!  ayah  maksudkan  anak  itu  adalah  aku...?”  teriak  Li  Lian  sambil  menubruk  dan
merangkul ibunya.
Ayahnya mengangguk dan ibunya berbisik dalam isaknya, “Benar, Li Lian, engkau adalah puteri
Yo Kiat, akan tetapi ayahmu yang ini begitu baik kepadamu, kepada kita... dia sama sekali tidak
mengkhianati  ayah  kandungmu,  dia malah menolong  kami  dari  aib.  Bayangkan  saja  sebagai
seorang  janda  yang  mengandung,  kalau  sampai  aku  tertangkap  oleh  pasukan  yang  mencari
dan dijadikan tawanan...”
“Ibum  sudahlah,  aku  tidak  menyalahkan  ayah,”  kata  Li  Lian  dan  iapun  bangkit  berdiri
menghadapi  Ki  San  yang  masih  duduk  tertegun  karena  tidak  mengira  akan  mendengarkan
keterangan seperti itu.
“San-ko, engkau sudah mendengar semua. Bahkan aku sendiripun baru sekarang mendengar
riwayat  itu.  Nah,  terserah  kepadamu.  Akulah  puteri  gurumu  Yo  Kiat,  dan  aku  tidak  akan
membalas  dendam  kepada  siapapun  juga.  Ayah  Kwan  Ciu  Ek  bukan  mengkhianati  ayah
kandungku  bahkan  telah  menolongnya,  menyelamatkan  isteri  dan  anaknya.  Dia  seorang
sahabat sejati. Bagaimana hendak didendam dan dibalas? Kalau engkau masih nekad hendak
membalas dendam yang tidak pernah ada itu, mari kulayani. Biarlah aku yang mati untuk ayah
Kwan Ciu Ek, dan sesudah mati aku akna mengadu kepada ayah kandungku Yo Kiat!”
Ki  San  menjadi  bingung.  Tentu  saja  kalau  begitu  keadaannya,  tidak  mungkin  dia  membalas
dendam.  Suhunya  agaknya  telah  terluka  parah  dalam  perang,  dan  tidak  dapat  menyelidiki
dengan seksama, hanya mendengar bahwa isterinya dilarikan sahabatnya Kwan Ciu Ek, maka
tumbuhlah  dendam  di  hatinya.  Karena  dia  sendiri  merasa  lemah  oleh  lukanya,  dia  lalu
mendidiknya, menurunkan  semua  ilmunya  agar  dia  yang  mewakili membalaskan  dendamnya
kepada Kwan Ciu Ek yang dianggapnya seorang sahabat yang berkhianat.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Bagaimana, orang muda? Kalau engkau hendak  berbakti kepada suhumu dan tetap hendak
membalas  dendam,  aku  Kwan  Ciu  Ek  tidak  akan  melarikan  diri.  Aku  akan  menghadapimu,
orang muda.”
“Ingat,  San-ko.  Kwan  Ciu  Ek  adalah  satu-satunya  ayah  yang  kukenal  dan  kusayang.  Kalau
andaikata  ayah  Kwan  Ciu  Ek  sampai  kalah  dan  tewas  di  tanganmu,  akulah  yang  akan
membalaskan  dendam  kematiannya  dan  engkau  akan  kuanggap  sebagai  musuh  besarku
selamanya! Aku akan terus berusaha membalas dendam kematian ayah kepadamu!”
Tentu saja Ki San menjadi semakin bingung. Dia hendak membalaskan dendam gurunya, kalau
berhasil, dia malah akan dijadikan musuh besar puteri kandung gurunya! Bagaimana ini!
“Aku... aku menjadi bingung...” akhirnya dia berkata.
Kini wanita setengah tua itu yang bicara. “Orang muda, aku mengenal mendiang suamiku yang
pertama. Semua ini tentu hanya salah paham saja. Dia seorang yang gagah perkasa. Mungkin
dia malu  untuk  pulang  ke  kota  raja  setelah  kekalahannya  dan  dia  tidak  tahu  betul  apa  yang
terjadi  dengan  diriku.  Dia  hanya  mendengar  bahwa  sahabatnya  melarikan  aku  dan  akhirnya
mendengar  bahwa  aku  telah  menjadi  isterinya  dan  tinggal  di  Wi-keng  ini,  maka  menyuruh
engkau  yang  membalaskan  dendamnya,  itupun  setelah  dia  mati.  Ketahuilah,  betapapun
baiknya  suamiku  yang  sekarang,  betapapun  banyaknya  budi  yang  telah  dilimpahkannya,
andaikata kami berdua mengetahui bahwa suamiku yang pertama masih hidup, kami tidak akan
saling menikah.”
“Nah, San-ko, semua sudah jelas sekarang. Ayah telah bicara, ibu telah bicara dan aku akan
bicara  kepadamu.  Engkau tentu mengakui  bahwa  aku  telah menyelamatkan  nyawamu  ketika
engkau dikeroyok bajak laut dan perahumu hendak ditenggelamkan. Namun engkau juga telah
menyelamatkan aku ketika aku dikeroyok Hek-coa Bong Kit Siong dan teman-temannya. Kita
sudah  saling menolong, juga ketika engkau mengobatiku. Apakah kita sekarang harus  saling
berhadapan sebagai musuh yang hendak saling membunuh? Jawablah, San-ko, jawab!”
Ki  San menjadi  semakin  bingung.  Tak  disangkanya  bahwa  pesan  gurunya  itu  menempatkan
dirinya  dalam  keadaan  yang  serba  salah.  Dia mencinta  gadis  ini, tak  salah  lagi.  Dia merasa
betapa di lubuk hatinya, dia amat kagum dan menyayang gadis ini dan gadis ini bahkan puteri
kandung mendiang gurunya. Cocok sekali untuk menjadi jodohnya. Akan tetapi gadis ini juga
anak  tiri  musuh  besar.  Diombang-ambingkan  antara  dendam  dan  asmara!  Akan  tetapi
dendamnya ternyata hanya salah sangka saja.
“Aku tidak tahu... aku tidak dapat menjawab, terserah kepada kalian saja...” katanya bingung
sehingga  Kwan  Ciu  Ek  tertawa.  Dia  merasa  suka  kepada  pemuda  ini  yang  dapat  menerima
alasan-alasan mereka.
“Ada  satu  cara  untuk  menghilangkan  semua  dendam  yang  tidak  berketentuan  ini,  Ki  San.
Engkau adalah murid gurumu yang berbakti dan setia, dan kalau engkau kini menjadi mantu
gurumu, maka sudah cocok sekali. bagaimana, Ki San, bersediakah engkau menjadi suami Li
Lian?”
“Aih, ayah...!” Li Lian tidak dapat menahan rasa malunya dan ia lalu lari meninggalkan mereka
masuk ke dalam kamarnya.
Ki San merasa terkejut sekali. “Ah, paman! Apakah... Lian-moi sudi?”
Ibu anak itu tersenyum. “Engkau sudah melihat sendiri, Ki San. Ia lari menyembunyikan diri, itu
berarti ia setuju. Kalau ia tidak setuju tentu ia telah mencak-mencak dengan marahnya di sini.
Tinggal engkau bagaimana?”
“Saya... saya sebatang kara, tidak mempunyai wali... saya... hanya menyerahkan saja kepada
paman dan bibi berdua dan tentang suhu...”
“Biarlah aku yang akan bersembahyang kepada bekas suamiku itu dan aku percaya bahwa dia
tentu akan menyetujuinya sekali,” kata ibu Li Lian.
Kwan  Ciu  Ek  maju  dan  merangkul  Ki  San.  “Jangan  khawatir,  Ki  San.  Kalau  ada  yang
mengetahui urusan ini, tidak akan ada orang waras yang akan menyalahkanmu, bahkan akan
memujimu karena engkau dapat mempertimbangkan dengan adil.” 
dunia-kangouw.blogspot.com
Demikian,  akhir  cerita  ini  penuh  kebahagiaan  bagi  Ki  San  dan  Li  Lian.  Dendam  kebencian
dihapus dengan pernikahan penuh kasih asmara…..
>>>>> T A M A T <<<<<

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cerita Silat Wisma Pedang

Baca Juga: Cerita Silat Terbaru Karya Kwee Oen Keng Bendera M... Wanita Iblis Pencabut Nyawa 2 Tamat Kho Ping Hoo Tcersil Cerita Silat K...