Senin, 22 Mei 2017

Cerita Silat Wisma Pedang

Baca Juga:
Seri 4 Kesatria Baju Putih
Karya : Wen Rui Ai
Penterjemah/editor : Liang YL/Adhi
Persembahan : SEE YAN TJIN DJIN
Sumber djvu : Manise Dimhader
Convert, edit & EBook: Dewi KZ
Tiraikasih website
http://kangzusi.com/  http://kang-zusi.info/
http://dewikz.byethost22.com/  http://ebook-dewikz.com/
http://tiraikasih.co.cc/  http://cerita-silat.co.cc/
WISMA PEDANG
Di sini adalah sebuah pekarangan yang sangat luas.
Langit mulai terlihat gelap, karena hari memang sudah sore.
Wisma itu adalah sebuah wisma tua, di sana sini banyak kayukayu penyangga rumah yang patah dan gentingnya juga sudah
banyak yang pecah. Sebagian malah sudah terbakar menjadi abu,
tapi yang utuhpun masih ada.
Dahulu wisma ini pernah berjaya dan juga terkenal, sekarang di
bawah sinar matahari terbenam, wisma itu terlihat sepi dan merana.
Di dalam wisma itu ada sebuah ruangan yang sudah ambruk dan
haneur, ruang tamu di wisma itu begitu luas. Di bagian atas rumah
masih terpasang papan nama. Dulu papan itu dicat dengan warna
terang benderang. Tapi sekarang papan itu terlihat sudah usang,
malah sudah terbelah menjadi dua bagian. Sudah tertutup oleh
debu dan sarang laba-laba. Tapi dari papan itu masih bisa terbaca
sebuah tulisan kaligrafi yang indah dengan tulisan 'Shi Jian'. Tulisan
itu terdapat di bagian papan yang terjatuh dan tertutup oleh debu,
sedangkan di bagian papan yang lain tertulis 'Tian Xia' (dikolong
langit).
'Shi Jian Tian Xia' memiliki makna tinggi dan juga berkesan
sombong, dan begitu berjaya. Ditambah lagi dengan tulisan kaligrafi
yang ditulis dengan sangat bagus dan bertenaga. Mungkin dulu para
tamu dunia persilatan pada saat melihat papan itu tergantung
tinggi, hati mereka akan tergetar! Tapi sekarang keempat huruf itu
terbagi menjadi dua yang tampaknya terbelah dengan pukulan.
Selama 300 tahun ini, kalangan persilatan yang berani
menggunakan kata 'Shi Jian Tian Xia', kecuali Shi Jian Shan Zhuang
(Wisma Pedang), tidak ada yang lainnya.
---ooo0dw0ooo---
Di depan wisma itu ada sebuah batu besar, dan tampak ada dua
orang yang sedang duduk di sana.
Dua orang itu berwajah biasa tapi terlihat penuh dengan
kekhawatiran. Mereka adalah dua orang anak muda yang sama
sekali tidak peduli dengan keadaan dunia ini.
Kedua tubuh anak muda itu dipenuhi dengan rumput kering,
tanah, dan serbuk kayu. Sepertinya mereka sudah berguling-guling
di rerumputan, sepertinya juga pernah tidur di tempat yang penuh
dengan tanah, dan juga sepertinya pernah bergulat di tempat jcang
penuh dengan serbuk gergaji.
Pemuda yang satu berperawakan tinggi dan hitam, wajahnya
masih terlihat lugu, tapi juga terlihat kalau dia seorang pemberani,
bisa bertahan menghadapi semua masalah hidup, tapi matanya
terlihat lesu.
Sedangkan yang satu lagi penampilannya seperti seorang pelajar,
hidungnya mancung, bibirnya tipis, sepertinya dia bersifat keras. Dia
seperti seorang pak tua yang sudah kelelahan.
Mereka berdua duduk saling berdampingan. Mereka tidak saling
pandang, dan juga tidak memperhatikan keadaan temannya.
Mereka seperti tidak pernah hidup di dunia ini. Sepertinya apa yang
terjadi di dunia ini tidak ada hubungannya dengan mereka.
---ooo0dw0ooo---
Mereka tampak sedang menunggu datangnya sore.
Tapi sebelum matahari terbenam, terdengar ada derap langkah
kuda berlari ke arah mereka.
Dari suara derap langkah kuda itu, sepertinya kuda itu tidak
berlari dengan cepat juga tidak lambat, seperti irama musik keras,
tapi bercampur dengan irama lembut, irama ini begitu
menggetarkan perasaan setiap orang yang mendengarnya.
Kedua orang itu mengangkat kepala untuk melihat, terlihat di Xi
Shan di bawah sinar matahari yang akan tenggelam, seperti sudah
dipoles dengan warna merah darah.
Pemuda pertama berkata, "Hari masih sore tapi sudah ada yang
datang."
Pemuda kedua menggelengkan kepalanya, "Sepertinya itu bukan
mereka."
Suara kuda terdengar sudah berada di depan wisma, langkah
kuda mulai melambat, kaki kuda itu berbulu putih bersih dan terlihat
sehat. Masih ada beberapa ekor kupu-kupu yang terbang di dekat
kaki kuda.
Kemudian terlihat seseorang berbaju dan bersepatu putih turun
dari kuda, daun yang tertiup angin melewati baju putihnya, terbang
beberapa saat kemudian terjatuh lagi, tapi hal itu sama sekali tidak
menganggunya.
Kedua pemuda itu saling pandang, kemudian mereka
menundukkan kepala lagi. Sepertinya mereka tidak mau tahu apa
yang terjadi di sekitar sana, tampak mereka sedang terkantukkantuk.
Orang itu turun dari kudanya, kemudian melihat sebentar ke
atas, langit yang mulai gelap, dengan ramah dia bertanya, "Apakah
tempat ini adalah Shi Jian Shan Zhuang yang dulu sangat terkenal?"
Kedua pemuda itu tidak bergerak, sepertinya mereka tidak
mendengar ucapan orang itu.
Orang itu tidak marah, dengan ramah dia bertanya lagi.
Kedua pemuda itu mengangkat kepala dan saling pandang, tapi
mereka tetap tidak menjawab.
Orang itu tampak tersenyum, mengulangi kembali
pertanyaannya, dia sudah bertanya 3 kali berturut-turut.
Akhirnya pemuda yang tinggi dan besar itu menunjuk ke arah
papan nama dan berkata, "Apakah kau tidak bisa melihatnya
sendiri?"
Orang itu melihat sebentar ke arah yang ditunjuk, tiba-tiba dia
tertawa dan berkata, "Siapakah nama dan marga kalian?"
Pemuda yang bersikap agak dingin itu berkata, "Lebih baik kau
pergi dari sini, kalau tidak kau akan terbunuh di sini."
Tanya orang itu, "Apakah disini akan terjadi sesuatu?"
Pemuda tinggi besar itu marah, "Mengapa kau begitu cerewet?"
Pemuda yang tampak dingin itu malah tertawa dingin, "Apa yang
akan terjadi di sini, kalau kau tahu apa yang akan terjadi di sini kau
akan terkejut hingga terkencing-kencing, lalu lari terbirit-birit dari
sini!"
Orang itu tertawa, "Kalau begitu ceritakanlah, mungkin
kenyataannya tidak begitu menakutkan seperti yang kau kira!"
Pemuda yang tampak agak dingin itu kembali tertawa dingin,
"He! He! He!"
Pemuda tinggi besar itu berkata, "Hayo, cepat pergi!"
Orang itu tampak berpikir sebentar, dia membalikkan tubuh dan
berjalan ke arah kudanya yang putih, dan berkata, "Oh ternyata
kalian tidak berani memberitahuku karena orang yang akan datang
itu sangat lihai."
Pemuda yang terlihat dingin itu segera berdiri dan membentak,
"Kau bilang apa! berdiri di tempatmu!"
Pemuda tinggi besar itu berkata, "Apa? Siapa yang bilang kami
tidak berani mengatakannya! Baiklah, kalau begitu akan
kuberitahu—di Jiang Nan, di kalangan persilatan golongan putih dan
hitam, orang mempunyai kekuatan besar dan namanya terkenal,
dan paling sulit dihadapi, adalah siapa? Apakah kau
mengetahuinya?"
Orang itu tertawa, "Kalau sampai Qian Shou Wang (Raja
bertangan seribu) Zuo Qian Zhen saja tidak tahu, aku tidak akan
bisa bertahan hidup di dunia persilatan!"
Pemuda yang terlihat dingin itu berkata, "Tidak disangka, kau
juga tahu hal ini, kalau begitu kau pasti tahu juga Zuo Shou Zhen
yang tidak terkalahkan di dunia ini, ilmu silatnya berada di atas
semua pendekar, apa kau tahu apa alasannya?"
Orang itu tampak berpikir sebentar dan menjawab, "Karena dia
mempunyai seorang istri yang baik dan dua orang murid yang
sangat membantunya."
Pemuda tinggi besar itu tertawa dingin dan berkata, "Masih ada
lagi, dia masih mempunyai 9 orang pembantu yang paling sulit
diajak bicara!"
Orang itu bertanya, "Maksudmu, Jiu Da Gui (9 setan besar)?"
Pemuda dingin itu berkata, "Benar, sebentar lagi yang akan
datang adalah salah satu dari Jiu Da Gui yang bernama Yi Dao Zhan
Qian Jun (sebilah golok memenggal, seribu prajutir), SunTu."
Pemuda tinggi itu berkata lagij "Masih ada lagi, seorang anak
buah Sun Tu yaitu Si Da Dao Mo (4 orang besar golok siluman),
apakah kau tahu asal usul Si Da Dao Mo?"
Orang itu tertawa, "Mereka? Qi Qing Feng adalah keturunan dari
Qi Men Jin Dao, dia adalah pengkhianat perkumpulannya. Li
Xue Hua berasal dari Xue Men Pai, murid perempuan dari Nian
Dou Men, dia adalah seorang perempuan jalang. Mu Lang Shan
adalah keturunan dari Lang Hua Dao Fa, dia mendapatkan ilmu silat
secara langsung dari Cang Lang Lao Ren, tapi dalam hai membunuh
dia senang membakar perempuan, lengkaplah semua kejahatannya.
Tang Shan Jue adalah wakil ketua Di Tang Dao Fa, ilmu goloknya
sangat lihai, katanya Qi Qing Feng, Li Xue Hua, Mu Lang" Shan, dan
Tang Shan Jue, keempat orang ini sudah berada di bawah
kekuasaan Tu Tian Mo, mereka sangat kejam, semua kejahatan
sepertinya sudah pernah mereka lakukan."
Pemuda tinggi itu dengan pandangan aneh berkata, "Ternyata
kau tahu sangat banyak."
Pemuda dingin itupun berkata, "Berani bicara seperti itu, berarti
kau termasuk orang yang lumayan pemberani."
Orang itu tertawa, "Kalau di dunia persilatan tidak ada yang
berani marah, semua pahlawan dan pendekar akan menjadi kurakura yang cuma bisa tinggal di dalam batoknya. Apakah di dunia
persilatan ini bisa masih ada keadilan?"
Pemuda tinggi besar itu terpaku, "Kau begitu berani, tapi kau
tetap bukan lawan Sun Tu dan Si Da Dao Mo, lebih baik kau segera
pergi dari sini!"
Orang itu bertanya, "Tapi. .mengapa kalian masih berada di sini?"
Wajah pemuda tinggi besar itu berekspresi yang sulit
dimengerti, dia duduk
kembali sambil menatap langit yang semakin gelap dan berkata,
"Kami? Kami hanya tinggal menunggu kematian di sini."
Tanya orang itu, "Apakah kau sedang menunggu Sun Tu yang
membawa orang-orangnya, lalu menunggu mereka membunuhmu?"
Pemuda tinggi itu menjawab, "Tiga tahun lalu, di Pin Jiang pada
sebuah pertandingan silat, aku melihat dia menyerang erang yang
sudah terluka dan dia ingin membunuh orang itu tanpa alasan
sedikitpun, sudah tentu ini melanggar aturan dunia persilatan.
Karena itu aku segera naik ke atas panggung untuk menolong." dia
tertawa dingin, lalu melanjutkan ceritanya, "Tidak ada seorang juga
yang mau membantuku membawa orang yang sedang terluka itu ke
rumah panitia, aku sendiri yang bertarung melawan Sun Tu,
kemudian Sun Tu dibantu oleh Si Da Dao Mo, mereka memukulku
hingga aku terluka parah. Semua pendekar yang melihatnya, tapi
tidak ada seorangpun yang berani tampil untuk membantuku, malah
ada yang menghalangiku melarikan diri..akhirnya aku bisa melarikan
diri. Aku juga tahu ternyata panitia malah sudah membunuh orang
yang terluka itu dengan tujuan menjilat Sun Tu." Tangannya
terkepal dengan erat dan urat-urat hijaunya bertonjolan.
Orang itu terdiam sebentar. Dia membalikkan kepalanya melihat
pemuda dingin yang sedang berdiri dengan tegak. Dia sedang
menatap langit dan orang itupun bertanya, "Bagaimana dengan
dirimu?"
Pemuda dingin itu tertawa dingin, "Apa maksudmu? Aku telah
mengalami banyak peristiwa yang menyedihkan, -kau ingin
mendengarkan cerita yang mana?"
Orang itu hanya bisa menjawab, "Oh!" Dia berkata lagi, "Kalau
begitu ceritakan kepadaku mengapa bermusuhan dengan Sun Tu?"
Pemuda dingin itu menjawab, "Heng Shan Pai adalah
perkumpulan yang didirikan oleh sekelompok pemuda. Pada hari
ulang tahun berdirinya perkumpulan itu, semua anggotanya
perkumpulan dibunuh oleh Sun Tu. Aku mencoba melawan Sun Tu.
Anggota-anggota Heng Shan Pai yang terluka parah malah mengira
aku adalah teman Sun Tu. Mereka menusukku di bagian pinggang
dan ditambah dengan tusukan Sun Tu, cukup untuk membuatku
berbaring di tempat tidur selama 3 bulan."
Orang itu bertanya, "Mengapa kalian menunggu Sun Tu di sini?"
Pemuda dingin itu menjawab, "Sun Tu tahu kalau aku belum
mati, dia menyebarkan berita jika dia tidak berhasil membunuh
kami, dia tidak akan merasa puas. Dengan keadaan seperti itu,
apakah kami bisa melarikan diri?"
Orang itu bertanya lagi kepada pemuda tinggi itu, "Bagaimana
denganmu?"
Sambil tertawa pemuda tinggi itu menjawab, "Apakah arti sebuah
kematian? Aku sudah bosan hidup di dunia ini dan akupun tidak bisa
lari jauh dari Sun Tu. Tapi menurut cerita orang lain, ayah Sun Tu,
yaitu Sun Qing Hong pernah kalah di bawah pedang ketua wisma
ini. Ketua itu adalah Si Tu 12. Sun Tu ingin menghancurkan wisma
ini untuk melampiaskan kemarahannya, karena itu kami
menunggunya di sini."
"Kalau begitu, apa kalian memang menunggu kematian di sini?"
Pemuda yang tinggi itu menjawab, "Boleh dikatakan seperti itu."
Orang itu berkata lagi, "Setiap seorang pasti ingin hidup,
mengapa kalian tidak melarikan diri saja?"
Pemuda dingin itu berkata, "Kalau kau bisa lolos dari kejaran Si
Da Dao Mo, apakah kau bisa lolos dari Sun Tu? Kalau kau bisa lolos
dari kejaran Sun Tu, apakah kau bisa lolos dari Ba Da Gui (delapan
Setan besar)? Kalau kau bisa lolos dari Ba Da Gui, apakah kau bisa
lolos dari Qian ShouWang?"
Orang itu bertanya, "Kalau kalian tidak bisa melarikan diri,
mengapa tidak bertarung saja?"
Pemuda tinggi itu berkata, "Pertarungan tetap sebuah
pertarungan, tapi jika kami menang juga apa gunanya? Dunia
persilatan seperti sepiring pasir, apakah hanya dengan
mengandalkan tenaga kami berdua bisa memukul seekor burung
raksasa? Jika bisa mengalahkan Si Da Dao Mo, apakah kau bisa
mengalahkan Sun Tu? Kalau kau berhasil mengalahkan Sun Tu,
bagaimana dengan 8 setan sisanya? Apakah kau bisa menahan
pukulan dari Cuo Shcu Zhen? Bertarung atau tidak hasilnya akan
sama."
Orang itu sepertinya terpaku mendengar jawaban dari pemuda
tinggi itu, kemudian dia mengerti dan berkata, "Oh! Ternyata seperti
itu...." Kemudian dia memberi hormatlalu berniat naik ke atas kuda,
tapi dia membalikkan kepalanya, menatap langit yang terlihat mulai
gelap lalu menarik nafas, "Yuan Feng Jiang tetap Yuan Feng Jiang,
Wang Jing Cao tetap Wang Jing Cao, kalian mati terlalu
menyedihkan, terlalu menyedihkan. Di dunia persilatan tidak ada
pahlawan seperti kalian...." Dia segera naik ke atas kudanya. Wajah
kedua pemuda ini berubah, pemuda tinggi itu berteriak, "Apa yang
kau katakan tadi?"
Pemuda dingin itu bertanya, "Siapakah dirimu sebenarnya?"
Orang itu tertawa menatap langit kemudian dengan suara
lantang dia berkata. "Aku tidak salah berbicara. Yang aku katakan
adalah nama 2 orang pendekar yang pernah menggegerkan dunia
persilatan. Sewaktu mereka masih hidup mereka sering membunuh
yang kuat dan membantu yang lemah, nama mereka sangat
terkenal. Bila mereka menganggap ada hal yang tidak adil, mereka
pasti akan mengulurkan tangan mereka yang adil untuk membantu
orang itu. Karena itu di dunia persilatan mereka dianggap sebagai
dewa penolong. Tapi sayang, masih begitu muda mereka sudah
meninggal...."
Wajah kedua pemuda itu menjadi pucat. Pemuda dingin itu
berkata, "Jangan sembarangan bicara Mereka baru muncul 3 tahun
lalu di dunia persilatan. Orang-orang di dunia ini sangat membenci
mereka. Siapa yang menganggap mereka adalah pendekar?"
Kata-kata orang itu tajam seperti pisau, "Mereka memang baru
muncul di dunia persilatan 2-3 tahun yang lalu, tapi mereka tidak
mencari nama juga keuntungan. Apa yang telah merela lakukan
lebih hebat dengan apa yang dilakukan oleh 10 pendekar.' Sewaktu
mereka masih muda, mereka hidup sangat susah, karena itu
mereka sudah terlatih untuk menjadi kuat dan juga sangat
pemberani. Mereka adalah pendekar yang selama ratusan tahun ini
jarang ada! Mungkin sewaktu mereka hampir mati, mereka masih
belum tahu kalau di dunia ini banyak orang demi menegakkan
keadilan mereka merasa hidup ini seperti sebuah jendela yang
semakin lama semakin buram. Ada yang memasang lampu, perahu
yang berlayar ada yang mengendalikan kemudi, gunung yang
dipenuhi dengan semak-semak tiba-tiba ada yang memberi golok
untuk membuka jalan.... Tapi sayang mereka mati terlalu dini. Kalau
saja mereka bisa bertahan sebentar lagi, mereka bisa mengibarkan
bendera penegak keadilan. Tapi sayang mereka melepaskannya
terlalu dini...."
Hati pemuda tinggi itu bergejolak sehingga nafasnya menjadi
terengah-engah dan berkata, "Tidak! Tidak! Mereka bukan
melepaskan kesempatan itu tapi mereka sudah putus asa
menghadapi orang-orang di dunia ini...."
Orang itu tertawa hingga membuat burung gagak yang hinggap
di pohon sana terkejut dan terbang. "Putus asaHa, Ha, ha.... Jika
Yuan Fang Jiang masih hidup, dia pasti akan marah! Dulu di Gua
Cang Shan, dia sendirian membasmi 3 orang penjahat. Di tengah
perjalanan menuju Shan Xi, dia sendirian bertarung dengan 9
siluman Lei Dian. Lalu masih dengan kekuatannya sendiri, dia
mendaki Gunung Lian Huan untuk menghadiri upacara kematian
Cao Shan You Gui. Kapan dia pernah mengatakan atau
mengucapkan kata-kata putus asa? Jika Wang Jing Cao masih
hidup, dia pasti akan mematahkan batang lehermu. Siapakah dia!
Huang He banjir, dengan segala cara dia beruasha" melindungi
orang-orang yang terkena banjir. Orang-orang golongan hitam
secara diam-diam ingin membunuhnya sampai 7 kali, tapi tidak ada
satupun yang berhasil. Dalam waktu semalam dia bisa memotong
ratusan batang pohon Gui untuk menutup sisi Huang He yang
ambrol. Dia berhasil menolong ribuan nyawa penduduk di sana. Jika
mereka bisa hidup kembali, apakah kalian masih berani berkata
seperti tadi. Apakah kalian tidak takut disambar petir?"
Wajah pemuda dingin itu terlihat berubah-ubah dan berkata,
"Tidak! Tidak! Mana mungkin mereka akan mengerti!"
Orang itu berkata lagi, "Kau terlalu memandang remeh kepada
orang-orang didunia ini! Orang-orang di dunia ini sangat banyak,
kadang-kadang tidak menemukan teman bukan berarti di dunia ini
tidak ada teman..bila kau pernah melakukannya, walaupun di dunia
ini tidak ada yang tahu, tapi kau bisa memegang perasaanmu
sendiri. Hati nuranimu pasti tahu, langit dan bumipun pasti akan
tahu. Kau akan merasa senang dan kau akan merasa matahari
menyinari tubuhmu terus menerus, membuatmu merasa hangat di
musim dingin, di bawah siraman hujan salju kau tetap akan merasa
senang. Kehangatan dan kesenangan akan keluar dari lubuh hatimu,
siapapun tidak akan bisa merebutnya darimu. Ini adalah persoalan
yang paling menyenangkan. Apakah orang akan tahu atau tidak,
mengapa harus dipedulikan?"
Pemuda tinggi itu berkata, "Tapi kami sudah berusaha, dan kami
benar-benar sudah merasa putus asa, benar-benar putus asa...."
Orang itu dengan suara lantang berkata, "Putus asa! Qu Yuan
berusaha hingga ratusan kali karena merasa tidak ada. gunanya
lagi, dia bunuh diri dengan terjun ke sungai. Apakah kau sudah
berusaha hingga ratusan kali? (Qu Yuan=nama orang, adalah orang
yang sering dikhianati. Dia juga sering menasehati seseorang tapi
usahanya selalu gagal, akhirnya dia terjun ke sungai untuk
mengakhiri nyawanya. Hari meninggalnya kita peringati sebagai hari
Pei Chun. Kita juga sering melempar bacang ke sungai). Kong Hu
Zhu berkunjung ke banyak negara untuk menyebarkan ajarannya.
Dia sering merasa lelah dan lapar, beberapa kali hampir mati
kelaparan di jalan. Dia mempunyai pengikut berjumlah 3.000 ribu
orang, murid berjumlah 72 orang, mereka dengan setia
membantunya, semua ini demi apa?Setelah 70 tahun berlalu sejak
terjadinya pemberontakan, dia masih terus menyebarkan ajaran ini
dan juga berusaha mengusir pemberontak. Dia tahu semua ini tidak
akan ada gunanya.... Tapi dia tidak pernah merasa kecewa. Melihat
semua contoh itu, apakah sekarang kau pantas merasa kecewa?
Jenderal Besar Ye Fei dengan gagah berani melawan pasukan
yang menyerang negaranya, tapi pengkhianat menjual negaranya
kepada negara lain. Dengan plakat yang berjumlah 12 buah dia
diperintahkan untuk kembali ke ibukota supaya tidak perlu melawan
pasukan dari luar negera. Dia tahu jika dia kembali ke ibukota, dia
tidak akan diberi kesempatan hidup. Dia juga tahu kalau dia hanya
akan membawa bencana kepada anak dan istrinya, tapi dia berani
bertahan menghadapi semua ini karena dia tahu semua yang
dilakukannya adalah suatu kebenaran!
Tapi kau, hanya persoalan begitu saja kau sudah merasa putus
asa! Apa yang sudah kau lakukan? Tanah di mana kau berdiri
sekarang adalah tanah milik Wisma Shi Jian. Dulu ketua Wisma Shi
Jian, yaitu Si Tu 12 adalah seorang pendekar gagah berani. Beliau
bisa memimpin semua perkumpulan terkuat di dunia persilatan.
Beliaupun selalu membela kebenaran dan keadilan di dunia
persilatan. Walaupun Ketua Si Tu sudah tua, tapi pedang
panjangnya masih terus membasmi siluman-siluman dan penjahat,
membuat orang jahat menjadi ketakutan. Apakah kalian ingin
melihat bekas rumah tinggalnya dihancurkan oleh para penjahat itu?
Dan apakah kalian sama sekali tidak merasa bersalah!
Aku nasehati kalian, lebih baik kalian berdiri agak jauh dari wisma
ini. Kalian akan mengotori nama besar Wisma Shi Jian!"
Kedua pemuda ini seperti tersambar petir, diam tidak bisa
berkata-kata lagi. Orang itu menarik nafas dan berkata, :'Hhhh!
Yuan Feng Jiang, Wang Jing Cao, kalian benar-benar mati terlalu
dini..."
Pemuda dingin itu berteriak, "Hentikan kata-katamu! Kurang ajar!
Hentikan! Mereka belum mati! Mereka tidak akan mati!"
Pemuda tinggi itu meraung dengan keras, pohon-pohon
bergoyang dan tanah bergetar. Sekali memukul, angin dari
kepalannya dengan kencang menyerang orang itu.
Orang itu terbang seperti seekor bangau putih, berdiri di atas
pohon cemara yang tingginya puluhan meter, tapi ranting pohon
cemara itu sama sekali tidak bergoyang. Sepertinya tubuh dia lebih
ringan dibandingkan seekor burung kecil.
Pemuda tinggi itu meraung lagi, "Karena mereka disebut sebagai
pembunuh, bertindak kejam dan tidak berperasaan maka mereka
merasa kecewa dan putus asa!"
Orang itu tertawa terbahak-bahak. Suaranya membuat beberapa
helai daun berjatuhan, "Seribu orang berlaku kurang ajar tidak ada
artinya dengan kehadiran seorang teman. Jika kau mendengarkan
kata-kata dari seribu orang yang kurang ajar, lebih baik kau
menutup telingamu. Jika kau vbenar-benar seorang pendekar,
mengapa harus mendengar kata-kata mereka yang tidak penting
dan mengapa harus disimpan di dalam hati?"
Pemuda tinggi itu berteriak, 'Yuan Feng Jiang belum mati, Yuan
Feng Jiang belum mati!"
Orang itu bertanya dengan lantang, "Kalau begitu Yuan Feng
Jiang sekarang berada di mana?"
Pemuda tinggi itu masih berteriak dengan histeris, "Dia belum
mati! Belum mati!"
Orang itu bertanya lagi, "Kalau begitu Wang Jing Cao ada di
mana sekarang?"
Pemuda dingin itu berkata, "Tapi kau jangan lupa jika kau telah
membuat Qian Shou Wan g marah, kita tidak akan bisa hidup!"
Orang itu tertawa lagi, "Untuk apa aku harus takut kepada
siluman?"
Dia berhenti bicara sebentar lalu melanjutkan lagi, "Jika satu
tangan tidak bisa membawa sebuah batu besar, dua tangan bisa
digunakan. Dua tangan tidak bisa mengangkat batu itu, 4 tangan
pasti bisa mengangkatnya."
Pemuda tinggi itu berkata, "Tapi Sun Tu hampir tiba."
Orang itu tertawa dan bertanya, "Apakah kau mengira Wang Jing
Cao dan Yuan Feng Jiang benar-benar sudah mati?"
Pemuda tinggi itu membentak. Dia berlari ke depat sebuah pohon
di mana orang berbaju putih itu berdiri hingga ke akar-akarnya. Dia
menyapu kesana kemari dengan pohon itu, tapi orang berbaju putih
itu walau dibanting kesana kemari, dia tetap berdiri dengan santai
dan tidak terjatuh.
Pemuda dingin itu membentak, "Siapa kau sebenarnya?" Jarinya
menyentil, pohon itu muncul 5 lubang kecil. Orang itu terbang ke
atas kemudian mendarat di atas kudanya. Kuda itu meringkik dan
berjalan. Terdengar suara orang itu dengan nyaring berkata,
"Yuan Feng Jiang, Wang Jing Cao, jika kalian belum mati, dengan
menggunakan keberanian Yuan Feng Jiang, dan kelincahan dan akal
Wang Jing Cao, kalian bisa bergabung membuat Wisma Shi Jian
tetap menjadi Wisma Shi Jian. Dan juga jangan lupa tanah yang
kalian injak sekarang ini adalah tanah dari pahlawan kita yaitu Si Tu
12."
Suara kuda berlari semakin jauh, suara orang itupun semakin
jauh. Langit terlihat gelap semua!
Mereka berdua lama tidak bicara. Mungkin karena tadi bertarung
di dalam kegelapan membuat mereka merasakan kalau mereka
berdua mempunyai sifat yang berbeda dengan mereka yang tadi.
Semangat dan keberanian, menggantikan kelelahan di wajah
mereka.
Pemuda tinggi itu berkata, 'Ya!"
Pemuda dingin itupun berkata, "Apakah orang itu adalah dia?"
Pemuda tinggi itu tampak bengong kemudian baru berkata,
"Untung kita bertemu dengannya."
Pemuda dingin itu berkata, "Benar-benar sesuai dengan
perkataan orang-orang."
Pemuda tinggi itupun berkata, "Jika aku tahu kalau orang itu
adalah dia, aku tidak akan menyerangnya."
"Semua kata-katanya memang benar," kata pemuda itu dingin
itu.
Mereka tidak berkata apa-apa lagi. Di dalam kegelapan mereka
memungut papan nama yang tertulis 'Tian Xia' yang terjatuh di
bawah. Kemudian meloncat memasangkannya kembali di atas
tiang. Mereka membersihkan debu yang menempel di papan itu.
Setelah bersih mereka turun tanpa suara.
Di dalam kegelapan terdengar suara tawa mereka yang penuh
dengan kegembiraan.
Mereka berdua saling memeluk pundak kemudian tertawa hampir
kehabisan nafas. Karena tertawa keras tanpa terasa air matapun
mengalir. Pemuda tinggi itu berkata, "Wang Jing Cao, kita sudah
lama tidak tertawa seperti ini!"
Pemuda dingin itupun berkata, "Tak disangka, pesilat tinggi itu
datang untuk memperingati kita."
Tiba-tiba dari dalam kegelapan terdengar ada suara dingin yang
berkata, "Melihat kalian berdua tertawa seperti itu, apakah karena
takut tidak akan ada kesempatan untuk tertawa seperti itu lagi?"
Yuan Feng Jiang dan Wang Jing Cao tidak tertawa lagi dengan
tenang mereka duduk di batu itu.
Kemudian mereka melihat dari dalam kegelapan muncul 5 orang.
Empat orang berbaju emas, yang di tengah memakai baju
berwarna merah.
Persamaan dari mereka berlima adalah bahan baju mereka
sangat aneh, di dalam kegelapan memantulkan cahaya dan di
pinggang mereka terselip golok. Yang tidak sama adalah orang
berbaju merah itu sangat tinggi dan juga besar, golok yang terselip
di pinggangnya adalah galok paling panjang di antara mereka
berlima.
Panjangnya adalah 7 kaki 3 inchi
Dia tidak lain adalah Sun Tu.
Nama lain Sun Tu adalah Sun Ren Tu.
Sejak 13 tahun yang lalu dia telah membunuh, setiap kali setelah
membunuh satu orang, dia pasti akan meninggalkan tanda.
Katanya setelah berlangsung selama 30 tahun, jumlah orang
yang dibunuhnya karena sangat banyak hingga tidak terhitung lagi.
Orang yang paling banyak dibunuhnya adalah pada saat dia
merayakan ulang tahunnya ke-40. Semua orang Shen Ying Bang,
dibunuhnya hingga tidak tersisa. Terakhir dia baru berhenti karena
keempat pengawalnya juga ikut terbunuh, dia telah melakukan
suatu kesalahan.
Dia membunuh orang dengan sangat cepat dengan
menggunakan golok yang panjangnya 7 kaki 3 inci itu. Sekali
menebas, bisa membunuh 11 orang.
Orang-orang persilatan sangat takut kepadanya.
Yang tidak takut kepada Sun Tu pasti tetap akan takut kepada
pembantunya, Jiu Da Gui memang bukan sembarang nama.
---ooo0dw0ooo---
Tiba-tiba Sun Tu berkata, "Kalian mau bunuh diri? Atau aku yang
turun tangan membunuh kalian?"
Sewaktu Sun Tu mengatakan hal ini, Yuan Feng Jiang dan Wang
Jing Cao tidak bergerak tapi kepalan tangan mereka semakin
mengencang.
Sun Tu tertawa, mulutnya besar seperti mulut seekor serigala
yang mengeluarkan taringnya. Kemudian dia berkata pada keempat
orang itu, "Mereka ingin mati dengan cara lebih tragis."
Keempar orang itu tertawa, seseorang berbadan tegap dan
umurnya setengah baya melangkah keluar. Di pinggangnya terselip
sebuah golok besar dan berat. Sarung golok terbuat dari kayu,
tampak seperti sebuah golok biasa dan tidak terlihat ada yang aneh!
Orang itu berjalan ke sebuah pohon besar, tangan kanannya
dilayangkan, pohon itu langsung roboh dan pohon itu telah terbelah
menjadi dua.
Sebatang pohon hanya dalam waktu singkat telah terbagi
menjadi empat, golok seperti itu, orang butapun tidak akan
mengatakan kalau itu hanya sebuah golok biasa.
Yuan Feng Jiang pun melihatnya, dengan dingin dia berkata, "Qi
Men Jin Dao, Qi Qing Feng!"
Wang Jing Cao tertawa dingin, "Golok bagus bukan digunakan
untuk menebang pohon."
---ooo0dw0ooo---
Seorang pemuda kurus melangkah keluar, dia berjalan hingga ke
depan sebuah pohon, di pinggangnya terselip sebuah golok panjang
dan ramping.
Dia mulai bergerak, golok yang terselip di pinggangnya masih
ada di sana, tapi sepasang tangannya terlihat ada sebuah golok tipis
yang berkilau. Kemudian sosoknya tidak terlihat, yang terlihat hanya
goloknya!
Cahaya golok datang bergelombang, seperti gelombang yang ada
di sisi pantai, tiba-tiba cahaya pedang menghilang, dia sudah berada
di belakang Sun Tu!
Empat batang pohon dalam waktu singkat sudah menjadi ratusan
batang.
Dengan dingin Yuan Feng Jiang berkata, "Lang Hua Dao Fa milik
Mu Lang Shan (jurus golok bergelombang)."
Wang Jing Cao tertawa dingin, "Golok yang bagus, tidak
digunakan untuk memotong kayu bakar."
---ooo0dw0ooo---
Waktu itu ada dua orang yang sudah mendekat yang satu lakilaki dan yang satu lagi perempuan, mereka berjalan ke arah
tumpukan kayu yang tadi telah dibelah menjadi potongan kecil.
Yang laki-laki berkata, "Udara sangat dingin." Yang perempuan
menanggapi, "Cocok untuk menghangatkan."
Sambil bicara diapun tertawa, mereka sudah memainkan 70-80
kali jurus golok, karena kedua golok saling beradu^ menimbulkan
percikan api. Percikan api itu* jatuh ke atas tumpukan kayu yang
sudah ditebang, dan apipun mulai menyala.
Yuan Feng Jiang berkata, "Xue Shen, Li Xue Hua dan Di Ting
Dao, Tang San Jue."
Wang Jing Cao tertawa dingin, "Golok yang bagus tidak
digunakan untuk menyalakan api."
Api sudah menyala, tapi mereka tidak terlihat ada keinginan
untuk bertarung.
Yuan Feng Jiang dan Wang Jing Cao juga tidak tampak siap
untuk bertarung.
Mereka sedang menunggu.
Mungkin dalam keadaan biasa, mereka akan cepat marah dan
melakukan semuanya dengan terburu-buru, tapi bila benar-benar
telah berhadapan dengan musuh, mereka malah sangat berhatihati, begitu bertarung pasti tidak akan ada ampun lagi.
Sekarang ini, siapa yang tidak sabar dan berbuat ceroboh, maka
dia akan mati.
---ooo0dw0ooo---
Kobaran api di dalam kegelapan seperti sedang meloncat-loncat,
seperti guna-guna kuno dan berkesan misterius, membuat wajah
orang-orang di sana seperti berganti-ganti.
Kelima orang itu berdiri di 5 arah mata angin, golok terselip di
pinggang masing-masing, tangan diletakkan di pegangan golok.
Bayangan mereka terlihat di bawah kobaran api yang bergoyang
dengan cepat seiring hembusan angin malam.
Tiba-tiba Yuan Feng Jiang berkata, "Sun Tu."
Qi Qing Feng marah, "Kurang ajar, kau berani berbuat macammacam."
Yuan Feng Jiang tertawa dingin, "Aku memang pemberani, kau
yang menjadi penakut."
"Apa yang kau katakan?" tanya Sun Tu.
"Sejak kapan aku mulai menghindar darimu?" tanya Yuan Feng
Jiang.
Sun Tu tertawa dingin, "Semenjak di Pin Jiang, kau telah
kubacok, dan kau sudah kukejar sebanyak 14 kali, dan sudah
terluka 7 kali."
Dengan tenang Yuan Feng Jiang bertanya, "Apakah kau tahu
mengapa aku menghindar darimu?"
"Karena kau tidak sanggup melawanku," Sun Tu tertawa.
"Salah!" tiba-tiba Wang Jing Cao angkat bicara.
"Oh ya?" Sun Tu tampak bertanya-tanya.
"Yang kami takutkan bukan dirimu," jelas Wang Jing Cao.
"Yang kami takutkan adalah kekuatanmu," tambah Yuan Feng
Jiang.
Sun Tu tampak terpaku, kemudian tertawa terbahak-bahak,
"Sama saja—yang penting hari ini kalian tetap akan mati di
tanganku."
"Tidak sama," jawab Wang Jing Cao. "Kami akan bergabung dan
kami akan melawanmu."
Mata Sun Tu tampak menyipit laludia berkata, "Kalau kalian bisa
melawan Si Da Dao Mo, itu sudah terhitung berani."
"Apakah kau tahu, tempat apa ini?" tanya Wang Jing Cao.
Sun Tu terpaku dia melihat tempat yang gelap itu lalu menjawab,
"Wisma Shi Jian yang sudah ada sejak dulu!"
"Benar, dulu Wisma Shi Jian melambangkan kebenaran di dunia
persilatan, sekarang kami akan bertarung hidup dan mati di depan
wisma ini. Kami mewakili kebenaran, kami tidak takut kepadamu!"
kata Yuan Feng Jiang.
"Kami mempunyai rasa percaya diri, kami tidak takut lagi
kepadamu," kata Wang Jing Cao sambil membentak.
Bentakan ini membuat bagian dalam Wisma Shi Jian bergema,
kobaran apipun tampak meloncat-loncat.
Wajah Sun Tu di dalam kegelapan mulai berkeringat. Apakah
karena dia terlalu dekat dengan api sehingga membuatnya merasa
kepanasan?
Atau udara terlalu dingin, sehingga keringat yang keluar adalah
keringat dingin?
---ooo0dw0ooo---
Cahaya dari kobaran api membuat wajah setiap orang di sana
menjadi terkejut dan bertanya-tanya.
Semua diam tidak ada yang bicara.
Sun Tu merasa dulu dia yang selalu mengejar kedua orang ini,
semua ini karena dia merasa sangat seru dan menyenangkan
mempermainkan mereka. Seperti seekor kucing sebelum memakan
tikus mangsanya, kucing itu pasti akan memainkan tikus itu dulu.
Tapi malam ini dia merasa kalau mereka tidak dibunuh malam ini,
kelak dia akan menjadi orang yang mereka kejar.
Dia mulai merasa tertekan.
Akhirnya dia berkata dengan dingin,
"Bunuh mereka!"
Begitu perintah membunuh diturunkan, Qi Qing Feng sudah
melangkah keluar, golok sudah berada dalam genggamannya dan
dia membacok ke arah kepala Wang Jing Cao.
Bacokan itu seperti guntur, Wang Jing Cao seperti sedang
berkonsentrasi menghadapi bacokan itu. Tiba-tiba terlihat ada dua
tenaga bercahaya dengan cepat datang, yang satu berada di atas,
yang satu berada di bawah, dengan cepat menyerang Wang Jing
Cao.
Xue Shan Kuai Dao, Li Xue Hua mengeluarkan jurus secara
bertubi-tubi seperti hujan salju, (golok cepat gunung salju). Di Tang
Ji Dao, Tang San Jue bergerak cepat seperti hujan (golok cepat
marga tanah). Ilmu mereka  ternyata lebih menakutkan
dibandingkan dengan omongan orang-orang.
Wang Jing Cao kalang kabut menghadapi serangan itu, berjaga
di bagian atas bagian bawah tidak terjaga atau sebaliknya!
Walaupun Wang Jing Cao dalam waktu bersamaan bisa menahan
serangan atas dan bawah, tapi bila golok emas milik Qi Qing Feng
membacok ke bagian tengah tubuhnya, dan kedua tubuhnya akan
terpotong menjadi dua.
Karena itu Wang Jing Cao terpaksa mundur dengan cepat, tibatiba dia merasa di belakangnya ada sebuah gelombang besar
menimpanya. Gelombang itu bukan gelombang air tapi gelombang
dari ilmu golok.
Jurus untuk membunuh Wang Jing Cao adalah serangan yang
dilancarkan oleh Mu Lang Shan.
Menyerang dalam keadaan dia tidak siap, menyerang sewaktu
dia lengah, mencegat jalan mundurnya, dengan tujuan membuatnya
tidak berkutik.
Orang yang sedang mundur dengan cepat, disertai dengan
melawan serangan dari 3 arah, mana mungkin bisa menghindar
serangan golok yang cepat dan bertubi-tubi datang dari
belakangnya.
---ooo0dw0ooo---
Tiba-tiba terdengar Mu Lang Shan berteriak, membuat hati setiap
orang yang mendengarnya menjadi ngilu.
Sampai menjelang kematiannyapun dia seolah tidak percaya,
pada saat dia sedang merasa senang karena dia akan mencapai
tujuannya, yaitu membunuh Wang Jing Cao yang sedang mundur
dengan cepat.
Ilmu meringankan tubuh Wang Jing Cao sangat tinggi, jurusjurusnya ganas dan dilancarkan dengan bertubi-tubi. Jurusnya
sangat terkenal tapi Mu Lang Shan sama sekali tidak menyangka
ada orang yang bisa mundur begitu cepat dan di belakang tubuhnya
seperti ada sepasang mata.
Dia sudah memperhitungkan bahwa bacokannya akan membuat
tubuh Wang Jing Cao terbelah menjadi dua bagian, tapi Wang
Jing Cao dengan kecepatan 10 kali lipat dari kecepatannya
semula tiba-tiba berlari ke depan Mu Lang Shan, dengan bahu
kanannya dia menahan tangan Mu Lang Shan, kemudian kedua
tangannya dengan tenaga kuat menghantam......
Mu Lang Shan sudah tidak bisa mendengar suara siapapun,
tulang-tulang seluruh tubuhnya hancur, karena teriakan memilukan
inilah menutupi semua suara yang ada!
---ooo0dw0ooo---
Diiringi teriakan Mu Lang Shan, Sun Tu langsungmaju kedepan.
Dia maju satu langkah, aura membunuh terasa keluar dari
tubuhnya. Api masih tampak bergoyang-goyang, api berwarna
merah menyala menyinari orang tinggi besar itu. Dia terlihat begitu
kejam dan menakutkan.
Tangan Sun Tu sudah berada di goloknya yang panjangnya 7
kaki 3 inchi.
Biasanya kalau tangan Sun Tu sudah memegang golok, orangorang persilatan akan bergetar melihatnya. Pernah ada dua orang
persilatan begitu melihat Sun Tu memegang pegangan golok,
mereka mati karena ketakutan.
Tapi kali ini Sun Tu melihat sewaktu tangannya memegang
pegangan goloknya yang panjang, seseorang dengan langkah besar
malah berjalan melewati api langsung berhadapan dengannya.
Sepasang mata seperti mata seekor cheetah galak, tanpa berkedip
melihatnya.
Seorang pemberani pemilik kepalan besi dan disebut pahlawan
besi, orang-orang menyebutnya si baja Yuan Feng Jiang:
Mata Sun Tu tampak menyipit, tangannya dengan kencang
memegang pegangan goloknya.
---ooo0dw0ooo---
Setelah Mu Lang Shan mati, Ci Qing Feng membentak, golok
emasnya dari atas menepis hingga ke bawah, gerakannya dilakukan
dengan kekuatan penuh.
Sewaktu kedua siku Wang Jing Cao menghantam Mu Lang Shan,
Mu Lang Shan tidak terbang keluar arena pertarungan, karena
kedua siku Wang Jing Cao menempel rapat di dada Mu Lang Shan.
Bacokan Qi Qing Feng membuat Wang Jing Cao yang tadinya
menghadapi Qi Qing Feng dengan berputar, sekarang dia berputar
ke belakang tubuh Mu Lang Shan.
Putaran yang dilakukan Wang Jing Cao tepat dilakukan untuk
menghindari serangan bacokan dari Qi Qing Feng. Li Xue Hua
menyerang bagian atas dan Tang San Jue menyerang bagian
bawah.
Karena bacokan Qi Qing Feng tidak bisa dihentikan, akhirnya dia
malah membelah tubuh Mu Lang Shan menjadi dua bagian. Dan
bacokan Cji Qing Feng belum berhenti, golok itu terus membelah
dada Mu Lang Shan.
Qi Qing Feng sudah bertekad akan memotong Wang Jing Cao
yang masih berada di belakang badan Mu Lang Shan.
Tapi saat itu juga dia merasa bagian bawah tubuhnya terasa
sangat sakit.
Tapi golok Qi Qing Feng tidak dapat dicabut dari tubuh Mu Lang
Shan, seperti sudah menancap sangat dalam.
Qi Qing Feng tidak akan membiarkan goloknya tertinggal di
tubuh Mu Lang Shan, Qi Men Jin Dao boleh dibunuh tapi golok tidak
bisa ditinggal begitu saja.
Saat dia merasa ragu sebentar, Wang Jing Cao dengan cepat
lewat di antara kedua kaki Mu Lang Shan, dan sekaligus memukul
alat vital Qi Qing Feng. Rasa sakit yang amat sangat membuatnya
membungkuk seperti udang kering. Karena mayat Mu Lang Shan
menghalangi pandangannya, membuatnya tidak bisa melihat
serangan yang dilancarkan oleh Wang Jing Cao. Akhirnya diapun
terkena pukulan yang mematikan.
Saat itu juga Wang Jing Cao melihat ada cahaya golok
menghampirinya.
Yang satu berada di atas seperti naga yang sedang bermain,
sedangkan cahaya yang berada di bagian bawah seperti angin
musim gugur yang menghembus dedaunan.
Mengapa kedua cahaya golok itu datang begitu cepat?
---ooo0dw0ooo---
Sun Tu mengeluarkan suara, goloknya yang panjang dengan
ukuran 7 kaki 3 inchi, seperti gunturdi langit, juga seperti api yang
siap membelah Yuan Feng Jiang.
Jangkauan yang bisa dicapai oleh golok panjang ini sangat luas,
membuat siapapun sulit untuk menghindar.
Di belakang Yuan Feng Jiang adalah kobaran api, Sun Tu sudah
memperhitungkan, Yuan Feng Jiang tidak akan bisa menghindar
lagi.
Mata Yuan Feng Jiang menyipit, dia melihat semua jalannya
sudah ditutup oleh Sun Tu, tapi Yuan Feng Jiang seperti sebutir
kelereng yang menggelinding, dia tidak akan mundur, malah terus
maju dan maju, dia maju masuk ke dalam cahaya golok.
Golok Sun Tu sangat panjang, golok itu belum sempat
diturunkan, bagian dadanya ada celah lebar.
Begitu melihat ada celah walaupun hanya sekejap, siapa yang
berani pada saat seperti itu menyerang celah ini?
Yuan Feng Jiang ternyata bisa melakukannya.
Sewaktu dia masih berusia 10 tahun, dengan membawa pisau
sayur dia bertarung dengan harimau Chang Bai Shan. Pada usia 11
tahun dia berani bertarung dengan murid Tang Men yang saat itu
tidak ada seorangpun berani melakukannya. Diapun pernah
mengalahkan 7 ketua di Lin Yuan, sampai dia sendiripun tidak
percaya dengan apa yang telah dilakukannya. Diapun bisa hidup
kembali setelah diserang oleh Sun Tu dulu. Tidak ada seorangpun
yang bisa membuatnya tidak jadi melakukan hal itu.
Golok milik Sun Tu benar-benar hebat, tapi Yuan Feng Jiang
masih terus maju dan maju, mungkin lebih tepat dikatakan dia
menerjang maju ke arah Sun Tu.
Dua cahaya itu sangat cepat, membuat Wang Jing Cao tidak bisa
menghindar lagi.
Dia setengah berjongkok, di depannya ada Qi Qing Feng yang
sedang membungkukkan tubuhnya karena kesakitan. Di
belakangnya adalah Mu Lang Shan yang telah terbelah oleh Qi
CjingFeng. Menghindar dengan jurus apapun dia tetap tidak akan
bisa lolos dari serangan Li Xue Hua dan Tang San Jue, dia hanya
bisa bertahan, tapi saat ini Wang Jing Cao sama sekali tidak
memegang senjata.
Qi Qing Feng dan Mu Lang Shang dijadikan tameng oleh Wang
Jing Cao.
Golok Li Xue Hua sudah menancap di tubuh Qi Qing Feng, dan
golok Tang San Jue menebas mayat Mu Lang Shan.
Li Xue Hua ingin segera mencabut goloknya dari tubuh Qi Qing
Feng, dia segera turun dari atas, kesempatan ini langsung diambil
oleh Wang Jing Cao.
Pada saat dia berusia 9 tahun dia berani bertarung dengan
perampok yang ada di Jiang Xi, dia sangat pandai memperhitungkan
waktu, dan dia sanggup mengeluarkan jurus dengan cepat. Di dunia
persilatan jarang ada orang yang bisa menyaingi kemampuannya,
dia sendiri sadar akan bakat yang dimilikinya, maka diapun menjadi
sangat percaya diri.
Dia segera melempar Ci Qing Feng dan melepaskan mayat Mu
Lang Shan. Li Xue Hua adalah seorang perempuan, walaupun dia
sangat galak tapi tenaganya pasti akan lebih lemah dari laki-laki.
Benar saja, terlihat bacokan yang diarahkan ke Qi Cjing Feng
tidak bisa dicabut setelah menancap dengan kuat di tubuh Cji Cjing
Feng.
Jurus golok Li Xue Hua bisa dilakukan dari udara, tapi bagian
bawahnya menjadi lemah, sekarang dia ditabrak oleh mayat Qi Qing
Feng, badannya tidak seimbang lagi, ditambah saat itu dia melihat
wajah Qi Qing Feng yang sudah mati, wajah itu mengerikan. Li Xue
Hua benar-benar terkejut, perasaannya menjadi kacau. Dalam
keadaan seperti itu, Wang Jing Cao sudah berada di depannya.
Golok Li Xue Hua masih menancap di tubuh Qi Cjing Feng, dan
tubuh mereka berdekatan.
Begitu Qi Qing Feng dipukul oleh Wang Jing Cao, dahi Qi Qing
Feng mengenai hidung Li Xue Hua, dan hidungnya langsung
mengeluarkan darah. Li Xue Hua sangat kaget, waktu itu juga golok
yang masih dipegang oleh Qi Cjing Feng menusuk ke perut Li Xue
Hua.
Dengan pelan dia roboh, sampai matipun Li Xue Hua tidak
mengerti mengapa Cji Cjing Feng yang sudah mati masih bisa
membunuhnya.
Semua itu karena dia tidak melihat gerakan Wang Jing Cao yang
melakukan serangan.
Wang Jing Cao secara berturut-turut berhasil membunuh 3 orang
pesilat tangguh, dia mulai merasa senang dan percaya diri!
Waktu itu terdengar suara angin yang dibawa golok sudah
menyerangnya. Wang Jing Cao mencoba menghindar tapi sudah
terlambat. Di Ting Dao yang dikuasai dengan baik oleh Tang San
Jue memang sangat terkenal di dunia persilatan karena
kecepatannya.
Gerak reflek Wang Jing Cao memang sangat cepat, tapi begitu
mendengar suara angin dari golok, golok Tang San Jue sudah
sampai di depannya.
Wang Jing Cao merasa kaki kirinya mati rasa, tubuhnya yang
sedang melayang segera turun. Belum sempat dia berbalik untuk
menahan serangan, kaki kanannya terasa panas, akhrinya diapun
roboh.
Tang San Jue paling menguasai teknik bertarung di bawah.
Begitu Wang Jing Cao roboh, cahaya golok seperti salju turun dan
terus menerpa Wang Jing Cao.
---ooo0dw0ooo---
Dalam hidup Sun Tu selama ini goloknya dalam 100 kali
dilayangkan, 90 orang musuhnya karena melihat keganasannya
mereka malah bengong, setelah itu berhenti menyerang. Pada saat
mereka kaget, sinar kilat melewati mereka dan tanpa mereka sadari
mereka telah terbelah menjadi dua, roboh dan nyawapun melayang
saat itu juga. Karena itu pula Sun Tu sangat percaya pada
kedasyatan ilmu goloknya.
Tapi sewaktu dia akan membacok, Yuan Feng Jiang menghilang
dari hadapannya.
Yang ada di hadapannya sekarang hanyalah kobaran api.
Kobaran api terus bergerak' membuat mata menjadi silau.
Dia mengerti mengapa Yuan Feng Jiang tidak takut masuk ke
dalam lingkaran goloknya, dia melewati api untuk menghadapi
dirinya.
Yuan Feng Jiang tiba-tiba menghilang, hanya ada satu jalan
menghilang dari sana yaitu dengan cara mendekat padanya.
Tapi begitu Sun Tu membacok, dia tidak bisa menguasai
gerakannya lagi.
Semua serangan berasal darirasa percaya dirinya.
Percaya diri yang mutlak.
Kalau rasa percaya dirinya hilang, semua persoalan tidak akan
bisa dilakukan dengan sempurna.
Tapi bila terlalu percaya diri juga akan membuat suatu kesalahan
yang tidak tertolong lagi.
Golok Sun Tu tetap dilayangkan, api yang jaraknya sekitar 10
kaki terbelah menjadi dua bagian dan api berubah menjadi
kehijauan.
Begitu golok sudah diayunkan akan ditarik kembali untuk
melindungi dirinya, semua sudah terlambat. Senjata panjang itu
sulit digunakan untuk melindungi diri, sedangkan senjata pendek
sulit digunakan untuk menyerang.
Begitu Yuan Feng Jiang mendekat, dia langsung mengambil
kesempatan yang ada, dia segera menyerang Sun Tu dengan
memukul dadanya!
Tiba-tiba tampak cahaya golok berkilau, sebuah pisau secepat
kilat menusuk dada Yuan Feng Jiang.
Sebuah pisau pendek, datang dari tangan kiri Sun Tu.
Dengan pisau inilah Sun Tu biasa membunuh orang.
Di dalam jiwa Sun Tu, ada 100 musuh, 90 orang musuhnya mati
karena golok panjangnya, musuh yang benar-benar diperhatikan
oleh Sun Tu bukan 90 orang itu melainkan 10 orang sisanya.
Kesepuluh orang itu selalu dibunuh Sun Tu dengan menggunakan
pisau pendek yang tersimpan di lengan bajunya.
Di antara kesepuluh orang itu ada satu orang yang bisa
menghindari tusukannya, berarti di antara 100 orang itu mungkin
hanya ada satu orang yang bisa menghindari serangannya untuk
kedua kalinya.
Tapi bisa menghindari serangan kedua, pada serangan ketiga
tetap sulit untuk menghindar, paling-paling orang itu hanya bisa
bertahan, kemudian golok panjang Sun Tu akan menyerangnya lagi.
Karena itu bila bertarung dengan Sun Tu, sama dengan mencari
kematian.
Tidak ada seorangpun yang menyangka, Sun Tu yang terkenal
dengan golok panjangnya, senjata yang benar-benar digunakan
untuk membunuh adalah pisau yang tersimpan di dalam lengan
bajunya, dan golok panjangnya menutupi senjata yang sebenarnya.
---ooo0dw0ooo---
Sewaktu Wang Jing Cao terkena bacokan pertama, dia merasa
aneh, begitu bacokan kedua menghampirinya, dia sudah menyusun
sebuah rencana. Dia segera ambruk. Dan sewaktu dia ambruk,
teriakan keras dikeluarkannya.
Tusukan itu tidak membuatnya takut tapi semua itu hanya untuk
menutupi keadaan sebenarnya. Tang San Jue merasa dia sudah
menang untuk kedua kalinya, hatinya merasa senang. Begitu dia
mendengar teriakan Wang Jing Cao, dia terpaku hingga gerakannya
melambat, saat itu Wang Jing Cao sudah menindih kedua goloknya
yang tergeletak di bawah.
Tang San Jue selalu mengaku kalau jurus golok bagian bawahnya
adalah nomor satu, semakin rendah jurus golok dimainkan dia
semakin mempunyai cara untuk mengatasinya. Tidak disangka kali
ini ada orang yang menindih goloknya ke tanah. Jurus itu tampak
begitu sepele dan rendah, belum pernah terpikirkan atau dialami
sebelumnya.
Karena itu dia segera menarik kembali goloknya, tapi sepasang
tangan Wang Jing Cao dengan cepat melilit lehernya. Kalau Tang
San Jue segera melawan saat itu juga, mungkin dia masih ada
harapan untuk hidup. Tapi dia sadar kalau tidak ada sepasang
goloknya, dia bukan lawan Wang Jing Cao. Karena keraguan yang
sempat terlintas di kepalanya, sepasang tangan Wang Jing Cao
menghancurkan jakun yang ada di leher Tang San Jue. Dengan
cakar harimaunya Wang Jing Cao memutuskan nadi besar yang ada
di leher Tang San Jue.
Tang San Jue sudah tidak mempunyai tenaga untuk menarik
goloknya, dia menghembuskan nafas terakhirnya. Kalau Si Da Dao
Mo tidak mempunyai golok, mungkin Wang Jing Cao tidak akan
begitu mudah membunuh mereka. Tapi Si Da Dao Mo sangat
menyayangi golok mereka seperti menyayangi nyawa mereka
sendiri. Wang Jing Cao menggunakan kelemahan ini dan
menggunakan kesempatan yang ada untuk membunuh mereka.
Tapi kaki Wang Jing Cao pun sempat terkena dua kali bacokan, tapi
dia merasa sangat senang, belum pernah dia merasa sesenang
sekarang. Karena itu dengan secepat kilat dan dengan
menggunakan kekuatannya sendiri membunuh Si Da Dao Mo yang
selalu menggegerkandunia persilatan.
---ooo0dw0ooo---
Sun Tu sudah memperhitungkan kalau Yuan Feng Jiang akan
menerjangnya, maka diapun menusuk Yuan Feng Jiang dengan
pisaunya.
Tapi Yuan Feng Jiang pun sudah memperhitungkan kalau* Sun
Tu akan melakukan hal ini. -
Semenjak 7 tahun yang lalu, Yuan Feng Jiang terjun ke dunia
persilatan, dia sudah mengetahui tentang Sun Tu, kecuali dia
memiliki golok panjang yang sangat menakutkan, dia masih memiliki
senjata lain yang mematikan.
Kalau tidak seperti itu Sun Ren Tu bukanlah Sun Ren Tu.
Kalau membunuh, dia harus membunuh dalam posisi seperti
apa?
Sewaktu golok panjang dilayangkan, siapapun pasti tidak akan
bisa mundur dari jangkauan goloknya, hanya orang pemberani dan
memiliki sifat teliti baru berani menerjang ke depan.
Begitu golok panjang dilayangkan, dada Sun Tu terbuka, itu
adalah kelemahan yang paling besar.
Sun Tu pasti sudah memperhitungkan hal ini, dari caranya
membunuh adalah pada saat musuh mendekat karena telah melihat
kelemahan ini.
Yuan Feng Jiang mengetahuinya tapi dia tetap maju.
Dengan keberanian melawan keberanian, cara ini adalah cara
yang biasanya dipakai oleh Yuan Feng Jiang.
Sekali Sun Tu menusuk, Yuan Feng Jiang memukul dengan
kepalannya.
Kepalannya mengenai ujung golok,golok itu adalah sebuah golok
bagus, bagaimana dengan kepalan Yuan Feng Jiang?
Kepalannya seperti sebuah kepalan besi! Golok malah terjatuh
karena terkena pukulan golok itu, kepalan itu juga membuat golok
menusuk ke sisi kiri dada Yuan Feng Jiang.
Kepalan kiri Yuan Feng Jiang tampak herdarah tapi tubuhnya
masih menerjang ke depan, kepalan kanannya menyerang Sun Tu
lagi.
Wajah Sun Tu tampak berubah warna, dia tidak pernah melihat
ada orang bertarung dengan cara seperti itu.
Tapi dengan cepat dia sudah mengetahui kalau dia telah
melakukan kesalahan. Seharusnya dia tidak membiarkan Yuan Feng
Jiang mendekat, tapi begitu dia tahu kalau dia salah, semua itu
sudah terlambat. Golok panjangnya sudah tidak sempat dibalikkan,
pisau pendek masih menancap di dada Yuan Feng Jiang.
Yuan Feng Jiang masih memiliki sebelah tangan lagi.
Hanya dalam waktu singkat kepalan tangan Yuan Feng Jiang
sudah memukulnya, kemudian membunuh dengan kepalannya.
Dengan siku, lutut, dan kaki dia menendang dan memukul Sun Tu,
setelah itu baru melepaskannya.
Sewaktu Yuan Feng Jiang meninggalkan Sun Tu, dada Sun Tu
tampak melesak ke dalam.
Sun Tu tampak melotot seperti tidak percaya pada apa yang
terjadi pada dirinya, sebelum dia ambruk dan mati, dia masih
melotot pada Yuan Feng Jiang. Wang Jing Cao yang masih berada
di sanapun sudah berhasil membereskan Tang San Jue. Dia
membalikkan kepala, kedua tangannya jmenyerang dan
mematahkan kaki Sun Tu, akhirnya Sun Tu pun roboh.
Dan selamanya dia tidak akan bangun lagi.
---ooo0dw0ooo---
Yuan Feng Jiang dalam satu jurus berhasil membereskan Sun Tu.
Wang Jing Cao dalam waktu singkat'berhasil membereskan Si Da
Dao Mo yang terdiri dari Mu Lang Shan, Qi Qing Feng, Li Xue Hua,
dan Tang San Jue.
Pisau masih menancap di dada Yuan Feng Jiang, karena tusukan
itu agak meleset hingga tidak melukai tempat vital. Maka hal ini
tidak membuat laki-laki seperti besi itu roboh. Kepalan tangannya
masih berlumuran darah, pisau Sun Ren Tu lebih tajam dari golok
panjangnya. Tapi walaupun demikian, dia masih tidak mampu
menghancurkan kepalan besi Yuan Feng Jiang.
Luka di kaki Wang Jing Cao pun tidak terlalu parah, pada saat
pertama terkena bacokan, untung dia sudah waspada terlebih
dahulu, pada saat dibacok untuk kedua kalinya, dia bisa
menghindar.
Kalau tidak mana mungkin orang persilatan menyebut Wang Jing
Cao sebagai 'Wang Jing Cao yang lincah'? kalau tidak begitu
julukannya akan berganti menjadi 'Wang Jing Cao yang tidak
mempunyai kaki'.
Walaupun mereka terluka, tapi mereka merasa sangat gembira
karena mereka akhirnya bisa menang.
Api tetap terbagi menjadi dua, dan api masih menyela dengan
terang.
Kedua pemuda itu di dalam kegelapam disinari oleh cahaya api.
Mereka menyambung potongan papan nama yang bertuliskan 'Jian
Shi' dan 'Tian Xia', dan dengan kuat mereka
memegangnya. Sepertinya apapun yang terjadi mereka tidak
akan membiarkan papan yang bertuliskan huruf 'Jian Shi Tian Xia'
hilang dari sana.
Api masih terus menyala dan kobarannya sangat besar. Malam
masih panjang.
Habis
Berlanjut ke PUTRI ES
PERSEMBAHAN : SEE YAN TJIN

Minggu, 14 Mei 2017

Resensi cerita Cinta Cersil Hina Kelana

Resensi cerita Cinta Cersil Hina Kelana Resensi Cersil Hina Kelana Pendekar Hina Kelana Versi Komik
Baca Juga:


Novel ini dibuat pada tahun 1967. Mengisahkan tentang intrik-intrik licik dalam perebutan kekuasaan di dunia persilatan, bagaimana batasan antara aliran sesat dan aliran lurus menjadi suatu yang absurd. Bahwa seorang yang mengaku sebagai pendekar dari aliran luruspun bisa melakukan tindakan-tindakan yang licik.


Saat itu perbedaan antara aliran lurus dan aliran hitam begitu tajam sehingga hubungan apapun yang terjadi diantaranya adalah suatu yang sangat diharamkan. Namun hal itu tidak berlaku bagi Lenghou Thiong, murid pertama dari Si Pedang jantan Gak Put Kun, ketua dari Perguruan Huashan. Sifat terbuka Lenghou Thiong membuat dia tidak membatasi hubungan dari aliran manapun, hal inilah yang akhirnya membuat kesalapahaman sehingga membuat dia harus terusir dari perguruannya.

Yang lebih menyakitkan lagi, ternyata yang mengkhianatinya adalah gurunya sendiri yang sangat dihormatinya. Demi mendapatkan kitab Pek Kiam Bo gurunya tega memfitnah dia sebagai pencuri. Bahkan sumoynya (adik seperguruan perempuan) yang juga anak dari gurunya telah mengalihkan cintanya kepada orang lain.

Dalam perjalanannya itu dia memperoleh inti ilmu pedang dari berbagai aliran dari sesepuh perguruan Huashan yang mengasingkan diri dan ilmu menghisap bintang dari mantan ketua aliran hitam. Yang celakanya semakin bertambah hebat ilmu silatnya semakin kuat pula tuduhan terhadap dirinya.

Kisah ini pernah ditayangkan di Indosiar dan Lenghou Thiong diperankan oleh Chow Yun fat, sedangkan versi yang ditayangkan di Trans TV diperankan oleh Richie Ren sedangkan versi filmnya (swordman) pernah diperankan oleh Jet Li. (sumber)

Baca Cersil Onlinenya disini

Minggu, 07 Mei 2017

KUDA KUDAAN KUMALA SEBUAH CERSIL CERITA SILAT MODERN

Seri Oey Eng Burung Kenari
Kuda- -kudaan    Kumal la  
Karya : Siau Ping Saduran : T
Sumber DJVU : Manise
Ebook oleh : Dewi KZ
Tiraikasih Website
http://kangzusi.com/  http://dewikz.byethost22.com/
http://cerita-silat.co.cc/  http://ebook-dewikz.com
Cetakan Pertama : Majalah Mingguan Star Weekly 1951
Cetakan Kedua : ADD Publishing - Juli 2009
Cerita Detektip berjudul Kuda-Kuda'an Kumala,
Lelakon Oey Eng si Burung Kenari, merupakan cerita
bersambung yang dimuat di Majalah Mingguan Star
Weekly dalam 1 nomor penerbitan.
Star weekly no. 305, 3 Nopember 1951. hal 17, 18
Oudara Tjie Wie, untuk tipu-dayaku, aku butuhkan
bantuan kau. Aku ingin dapat pinjam pake kaupunya huicui-ma, itu kuda-kuda'an kumala ijo, yang harganya tinggi
ta'dapat ditaksir...," demikian katanya Detective To Tjie An
dari kota Shanghai, pada hartawan Liok Tjie Wie, dalam ia
ini punya kamar tetamu yang indah.
"Kenapa mesti capekan hati, sudaraku?" Tjie Wie tanya.
"Buat kau toch ada gampang sekali akan bekuk sesuatu
orang jahat?"
Hartawan ini nampaknya ada tida mengarti.
"Sebab dia ada beda daripada penjahat yang kebanyakan!
Ande-kata sekarang ia berada di kantor polisi, dengan tak
ada bukti, aku tidak mampu cekuk padanya, tida sekalipun
salembar rambutnya! Aku perlu kumala kau, supaya bukti
dan orang aku bisa ringkus berbareng!"
"Siapa sih dia itu?" Tjie Wie tegaskan.
"Miss In Hong!"
"Miss In Hong? Miss In Hong yang mana?"
"Oey Eng, si Burung Kenari!"
"Ach...! Kau sebenarnya mau tangkap In Hong atau Oey
Eng?"
"Aku hendak bekuk Oey Eng tetapi ia selalu muncul di
depanku selaku In Hong, inilah sukarnya! In Hong ialah
Oey Eng, Oey Eng ada In Hong, tetapi...."
"Oey Eng? Apa bukannya lie-hui-cat, si bandiet
perempuan yang bijaksana, yang gemar mengamal dan
mendermah?"
"Benar dia!"
"Kalu begitu, dengan pinjamin kumalaku pada kau,
sama saja aku mendermah pada Oey Eng...," kata Tjie Wie
achirnya. Ia memang tau siapa dianya si Burung Kenari, si
Nona Baju Kuning.
"Kau jangan takut, sudaraku," Tjie An membujuk. "Aku
nanti pasang puluhan orangku yang pande dan gaga buat
lindungin kumalamu itu, aku hanya ingin Oey Eng masuk
dalam jebakan!"
"Ande-kata kumalaku itu terbang juga...?" Tjie Wie
bersangsi.
"Aku akan kerahkan polisi, buat dapati pulang! Aku
perlu itu kumala cuma buat tuju hari, di hari ka-delapan,
pagi-pagi, aku akan anterkan pulang dengan tidak kurang
suatu apa. Aku akan pertarokan jiwaku, sobat...!"
Achir-achirnya, Detective To bisa dapati hui-cui-ma
itu....
To Tjie An telah pinjam ruangan dansa dari Wen Yi
Club di antara dua straat Rue Lafayette dan Avenue Petain
untuk mengadakan tentoonstelling dari kuda-kuda'an
kumala yang mahal. Ia telah pasang banyak orang polisi
akan jaga gedong itu di luar dan dalam.
Ruangan itu bisa muat bebrapa ratus orang. Kumala
ditaro di tengah-tengah, di atas meja yang terkurung dengan
lankan kuningan, di ampat penjurunya ada divan dan korsikorsi, untuk tetamu atau penonton duduk beristirahat.
Ia sendiri, bersama A Poan, pembantunya yang gemuk,
yang ia percaya betul, berdiam di satu kamar dari mana
marika bisa mengintip ka dancing hall dengan laen orang
tidak bisa liat mereka.
Gedong itu sendiri berada di pusatnya suatu taman,
terpisah dari tetangga paling dekat masi ada 4-5 tumbak
jauhnya. Dalam surat-surat kabar ada dimuat tentang ini
tentoonstelling, yang maksudnya yag benar adalah
undangan buat si Burung Kenari.
Di hari pertama, mulai jam 9.00 pagi, tetamu telah
masuk beruntun dan bergantian. Mereka ada dandan rapi
dan indah, harga karcis yang tinggi membuktikan mereka
ada dari kaum atas, yang paling miskin adalah bangsa achli.
Tjie An dan orang-orangnya yang tidak pake seragam,
senantiasa ada pasang mata.
Pada jam 2.00 lohor muncul dua pemuda potongan
buaya darat, tetapi pakeannya indah dan dari bahan mahal,
mereka cendorongkan diri di lankan, menyaksikan sampe
lama, seperti yang tidak bosen. Kemudian orang tua dengan
pakean dekil dan banyak tutusannya, yang juga agaknya
ada sangat ketarik hati sama kumala itu. Tentu saja, mereka
tida bisa lolos dari pengawasan polisi.
Kemudian lagi tertampak tiga nona yang cantik dengan
pakeannya yang indah, satu antaranya ada elok luar biasa,
hingga semua penonton jadi menoleh dan mengawasin.
Buat si mata keranjang, dengan meliat tiga si manis ini,
harga karcis yang mahal telah tida jadi mahal lagi....
Mereka ini dekatin lankan, atas mana dua pemuda dan si
orang tua berpakean dekil lekas-lekas membagi tempat,
hingga mereka bisa datang dekat dan bisa meliat kumala
dengan leluasa.
Dari kamarnya, Detective To kenalin Miss In Hong alias
Oey Eng serta ia ini punya sumoay Kat Po dan keponakan
perempuan Hiang Kat.
"Kau liat, A Poan! Dugahanku tida meleset, di hari
pertama In Hong telah datangmenonton, dengan ajak dua
kawan...."
Tjie An bicara dengan girang dan bangga, hatinya puas.
Justeru itu di luar lankan terdengar suara brisik, kapan A
Poan mengintip, ia liat si orang tua dan dua buaya sedang
berklai, dengan seruh.
"Pasti mereka ada konconya In Hong dan mereka
hendak buyarkan perhatiannya polisi," kata Tjie An.
"Bisa jadi. Tapi, mana ia bisa turun tangan...?"
"Tapi liat itu anem babi tolol!" kata Tjie An.
Benar, anem agen telah pisahkan tiga orang itu, hingga
perklaian jadi sirep. Tapi tiga orang itu tetap belon mau
berlalu.
"Sebenarnya kumala ini mau dibawa pulang atau tiada?"
Kat Po bersuit. Itulah ada omongan resia mereka. "Ketika
barusan mereka berklai, aku sudah mau turun tangan...."
"Jangan sembrono," In Hong bersuit, dengan
cegahannya.
"Aku ingin nyerbuh berbareng sama Hiang Kat aku nanti
gempur itu anem agen dan sigra lompat ka jendela. Apa
mereka bisa bikin?"
"Ingat pada penjagaan yang  kuat sekali," In Hong
peringati. Mereka tetap berbicara dengan bersuit. "Aku mau
tunggu sampe malam."
"Nah, sabentar malam saja kita kombali!" Kat Po bersuit
pula.
"Kauorang pulang duluan, aku mau menilikin
sabentaran lagi," In Hong pun bersuit.
Kat Po ajak kawannya pergi, di blakang mereka
kemudian menyusul si dua anak muda dan si orang tua
dengan pakean dekil. In Hongsebaliknya duduk di divan
dan ia keluarkan pena dan notes, akan mencurat-coret.
Tjie An terus pasang mata. Ia ingin ketahui orang tulis
apa tetapi ia tida bisa dekatin nona itu. Maka achirnya, "A
Poan, pergi suru satu agen yang menyamar dekatin Hong,"
ia prentah.
A Poan berlalu, akan lakukan itu prentah. Maka sabentar
kemudian, satu agen menghampirkan In Hong, akan duduk
di samping ini nona, dengan matanya saban-saban melirik
orang punya buku notes.
Seperti orang tida engah atau tak perdulian, In Hong
terus kasi kerja penanya. Ia melukis hui-cui-ma, ia gusek, ia
menulis lagi, gusek pula, demikian bebrapa kali, maski ia
bisa melukis dengan bagus. Ia bikin agen di sampingnya
jadi tida sabaran. Achirnya ia melukis satu divan, di atas itu
ada lukisan ia sendiri sedang menulis, di samping ia, sambil
ulur leher, ada seekor anjing polisi sedang melongok
lukisannya!
Kapan ia tampak itu sindiran, si agen gusar bukan maen,
tapi ia cuma bisa berlalu dengan mendongkol. Ia pergi buat
kasi lapor per telepon pada Tjie An.
"Ia benar pintar dan brani," A Poan puji nona itu. "Apa
ia bakal kena dijebak?"
"Aku merasa pasti!" saut Tjie An, yang toch kertek gigi,
saking mendelu;
Kira jam 6, penonton mulai surut, dan pada jam 8,
semua pintu lantas ditutup. Semua penonton pulang. Polisi
sendiri, kecuali yang jaga di luar, semua naek ka loteng,
buat dahar dan beristirahat. Tapi malamnya, Tjie An siap.
"Sabentar ia bakal datang," ia kasi tau. "Kasi ia masuk,
jangan kasi ia keluar! Kita musti bekuk ia orang dan
barang!"
A Poan dapat kewajiban menjaga api, saluran ruangan
digelapi, kebetulan sekali, malam itu tidak ada rembulan
dan bintang pun jarang.
Sunyi belon lama, di tembok keliatan orang berlari-lari,
pakeannya item. Ia linyap sabentaran, lantas ia muncul
pula. Ia loncat turun ka taman, terus menuju ka jendela ka
mana ia naek dengan gunai bandringan. Ia bisa masuk ka
dancing hall dengan merdika, sebab kendati polisi liat ia, ia
diantep saja. Ia bertindak ka lankan, ia lompatin itu, ulur
tangannya da kumala berada di tangannya.
Di saat ia putar tubuh, buat berlalu, mendadakan api
semua jadi terang dan di sekitar ia, agen-agen polisi todong
ia dengan revolver. Ia dandan serbah item, mukanya
ditutupi topeng, sampe tangannya ada pake sarung tangan
item. Ia manda kedua tangannya dipegang keras oleh dua
agen.
Tjie An menghampirkan, buat pasang borgolan.
"Miss In, aku tidak nyana ini malam kitaorang bisa
bertemu secara begini!" kata itu detective sambil tertawa.
"Kau sedang malam atau kepandeanmu kurang sampurna?"
Orang serbah item itu diam saja.
Kerna orang membungkem, Tjie An menyamber sama
tangannya, topeng terlepas dan... ia berhadepan sama satu
muka lelaki yang kisutan!
"Hei, siapa kau?" detective ini berseru dengan
pertanyaannya.
Masi saja si serbah item itu diam saja.
"Tuan, dialah si orang tua dengan pakean rombeng yang
tadi siang berklai di sini sama itu dua pemuda luntanglantung!" berseruh satu agen.
"Apakah kau ada orangnya In Hong?" tanya Detective
To dengan lesuh.
"In Hong siapa? Aku tida kenal In Hong!" achirnya kata
orang tangkapan itu.
"Lie-hui-cat Oey Eng, si Nona Bpju Kuning!" Tjie An
jelaskan.
"Aku baru datang dari Szechuan, aku dengar nama Oey
Eng, aku tida kenal orangnya. Aku tida punya hubungan
sama Oey Eng itu!"
Tjie An rampas pulang kumala dari tangannya bandiet
itu, dengan ati-ati ia letakin pula di tempatnya, kemudian ia
prentah bandiet itu dibawa ka kantor polisi.
"Jaga supaya orang tida ketahui kita telah bekuk dia ini.
Lekasan sedikit! Oey Eng musti datang ini malam! Lekas
pademin api!"
Prentah itu diturut dengan sigra.
Tapi malam itu orang melek dengan perasaan kuciwa,
Oey Eng tida muncul, juga tida di malam ka-dua. Malam
ka-tiga, malam ka-ampat, semua liwat dengan sepi saja.
Malam ka-lima diliwatkan dengan lesuh dan masgul. Di
malam ka-anem, pada jam 12, Tjie An dengar suara
membeletuk di meja.
"Api, lekas!" ia prentah, bahna heran, sebab selanjutnya,
ruangan tetap sunyi.
Di bawah terangnya listrik, kumala tetap di tempatnya,
hanya di atas meja ada nancep sebatang pana kecil, yang
menusuk sepotong kertas dengan tulisan begini,
"Tuan Detective, Bertrima kasi yang kau hendak
persembahkan kumala berharga padaku, adalah tida hormat
akan tampik itu, maka besok malam, jam 12 tepat, aku akan
datang buat trima itu."
Tanda tangannya ada satu lukisan seekor burung kecil.
Meliat jurusannya, pana itu masuk dari jendela barat,
tapi aneh, di situ polisi tida dapati orang datang atau pergi.
Besoknya, hari pengabisan, tetamu sudah kurang
banyak, ada jam 6, ruangan sudah kosong, kendati
demikian, Tjie An malah perkeras penjagaan dan A Poan
dipesan wanti-wanti menjaga api.
"Malam ini ada malaman pertarungan yang
memutuskan!" ia kasi tau.
Lekas sekali, lonceng telah unjuk jam 7.55. Lagi 5 menit,
lantas sampe jam 8.00. itu waktu, tentooonstelling akan
sudah ditutup, semua pintu dan jendela akan dirapeti dan
dikunci. Hingga orang akan tinggal tunggui datangnya si
Burung Kenari....
Mundar-mandir di muka lankan, Tjie An senantiasa
awasi lonceng di tembok.
Adalah di sa'at itu, di pintu muncul satu nona, yang eilok
luar biasa, bajunya kemeja kuning, celananya celana jas
panjang warna kuning juga. Tubuhnya langsing, siapa
pandang ia, tentu musti terus mengawasin!
"Tuan Detective, kau juga menyaksikan kumala?" In
Hong menegor sambil mesem manis, dengan tindakan
tenang, ia mendeketin lankan.
"Eh, Miss In, kau datang sekarang?" detective itu balik
menegor. Ia tidak menyangkah. j
"Jam penutupan 'kan jam 8.00? Sekarang masi ada
tempo bebrapa menit, apa aku boleh turut menyaksikan?"
tanya si nona.
"Ya, masi ada bebrapa menit...," Tjie An jawab dengan
mata dipasang awas.
"Aku percaya Oey Eng bakal menang, Tuan Detective!
Apakah kau ijinkan aku berdiam di sini, akan menonton
kepandeannya si Baju Kuning itu?"
"Dengan kau berdiam di sini, Oey Eng tentu lebih
bergumbirah. Baek, aku mengasi perkenan," Tjie An
meluluskan.
"Kau baek sekali, tuan, trima kasi. Aku girang sekali.
Tapi aku hendak terangkan pada kau, upama kata Oey Eng
berhasil mencuri kumala, ia tida ada sangkutannya sama
aku!"
"Kita nanti liat saja, Miss In, bukti barang ada di tangan
siapa!" detective itu jawab. "Aku tau, kau pun pande, tidak
kalah daripada Oey Eng, siapa tau kalu-kalu kau pun gatel
tangan?"
"Trima kasi buat pujian kau! Di antara Oey Eng dan aku,
bedahnya ada seperti langit dengan bumi. ..I"
Marika saling awasin, si nona bersenyum manis.
"Duduk saja kurang gumbirah, Tuan Detective, apa kau
suka titahkan orang seduh kopi?" kata In Hong kemudian.
"Tentu, Miss In!"
Lantas berdua marika duduk berhadepan di depan meja
di luar lankan, sambil irup kopi, marika pasang omong
pintu telah dikunci, jendela telah dijaga keras, laen marika,
yang jagai kuda-kuda'an kumala ijo.
Suara lonceng, sabelas kali, memecahkan kasunyian.
Tida ada hamba wet yang menyangkah bahwa In Hong
brani turun tangan di depan begitu banyak orang polisi,
selagi api terang benderang seperti siang, melaenkan Tjie
An sendiri, yang terbenam dalam kesangsian, kerna ia tau
orang punya kebranian dan kegagahan. Diam-diam A Poan
dipesan akan sigra tembak siapa saja yang brani ganggu
pesawat penyalah api!
Tjie An bersenyum waktu ia dapat pulang kapercayaan
atas dirinya.
"Tuan Detective, apa kau bersenyum kerna percaya Oey
Eng tida bakalan mampu lolos dari sini?" In Hong tanya.
"Ia bisa keluar dengan borgolan pada kedua tangannya!"
Tjie An jawab.
"Aku percaya, begitu merdika ia di waktu masuknya,
begitu merdika juga ia di waktu berlalunya...," si nona kata
sambil tertawa, sikepnya suajarnya sekali.
Lonceng sekarang mengunjuk pada angka 11.58! Lagi
dua menit saja!
"Tuan To, Oey Eng akan sigra datang, kau ati-atilah!" In
Hong peringeti. Ia geraki kaki dan tubuhnya, ia nyender di
korsinya.
Tjie An tertawa.
"Aku telah menjaga keras, api jni malam tida nanti bisa
dipademkan!" kata ia. "Sekali ini, Oey Eng musti
menyerah...." Jarum lonceng pindah menjadi 11.59! "Oey
Eng, Oey Eng, apa kau brani turun tangan?"
Sambil kata begitu, Tjie An awaskan In Hong secara
menantang. Tapi si nona tetap bersenyum, romannya
anteng luar biasa.
Lonceng lantas saja berbunyi: 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10,
11 ... 12! Dan berbareng sama berkleneng dua-belas itu, api
padem semua dengan tiba-tiba,ruangan jadi gelap luar
biasa, sebab justru barusan cahya ada terang istimewa!
Tjie An semua jadi kaget, sakejab itu, marika terguguh,
tetapi lekas juga, lampu-lampu battery dikasi menyalah,
menuju ka meja di dalam lankan....
Kumala telah linyap!
Kutika In Hong disuluhkan, ia duduk tetap di korsinya,
seyumannya menyungging mukanya yang putih, alus dan
eilok-manis!
Di sa'at itu, dari luar, di wuwungan rumah tetangga
sebelah barat, datang suara, "To Tjie An, kumala sudah jato
ka dalam tanganku! Siapa berkepandean, mari, aku
tunggu!"
Belasan senter menuju ka wuwungan rumah itu, di sana
berklebat satu bayangan kuning, sebelah tangannya
menyekel satu buntelan!
Baru saja Tjie An mau prentah menembak, atau
kupingnya dengar, "Ati-ati, tuan, kau nanti tembak kumala
berharga itu!"
Itulah ada suaranya In Hong, tawar dan mengejek.
"Jangan menembak! Hayo ikut aku!" Tjie An lalu
bertreak. "Kurung itu rumah!"
Tjie An lantes lari ka pintu, yang dipentang dengan sigra,
bersama orang-orangnya, ia memburuh keluar.
In Hong ditinggal sendirian, melirik ka sekitarnya, ia liat
tidak ada laen orang. Dengan satu lompatan, ia melesat ka
depan jendela, yang madepi jalanan kecil yang sunyi. Di
situ ada tiang listrik, nangkel di tiang itu, ada nona Hiang
Kat, yang nyamar jadi tukang listrik. Ialah yang putuskan
kabel, membikin gedong jadi gelap seluruhnya.
In Hong sambitin satu buntelan pada kawannya itu, yang
terus mengilang setelah sanggapi buntelan itu. Ia sendiri
lekas kombali ke korsinya, akan duduk menyender seperti
tadi. Ia puas meliat Hiang Kat, terutama Kat Po, sudah
kerja dengan sampurna.
Tjie An berameh balik denganlekas, sebab Oey Eng tida
ketan gkap.
Kapan marika sampe di dancing hall, In Hong lagi
duduk nyerande sambil bersenyum.
TAMAT

NAGA MERAH BANGAU PUTIH CERITA SILAT CINTA

Naga Merah Bangau Putih > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
1
_________________________________________________________________
Sejarah menyatakan betapa buruknya keadaan pemerintahan di Tiongkok pada jaman
dahulu kala, pada wakut raja demi raja ganti-berganti memegang tampuk pemerintahan
sebagian dari tanah air Tiongkok. Peperangan antara kerajaan yang satu dengan yang lain
hampir tiada hentinya, hancur menghancurkan, takluk menaklukan, dan saling berusaha
memperluas wilayah masing-masing.
Tentu saja yang menganggap keadaan pada mas itu amat buruk adalah rakyat kecil,
terutama sekali para petani yang hidupnya amat melarat dan miskin. Buruh tani yang
merupakan sebagian besar dari rakyat kecil, hidup amat menderita, bahkan ada yang
menyatakan bahwa kehidupan buruh tani lebih sengsar daripada kehidupan seekor kerbau atau
kuda milik si kaya!
Hal ini terjadi karena adanya penghisapan dan penindasan dalam jaman feodal itu, pada
waktu dimana terdapat dua golongan yang menganggap jaman itu adalah jaman keemasan
untuk mereka. Mereka ini pertama - tama adalah keluarga raja dan para bangsawan
berpangkat yang menganggap diri dan golongannya sebagai orang-orang terhormat dan jauh
lebih tinggi derajatnya daripada golongan rakyat msikin yang dianggapnya hina. Golongan
kedua adalah raja-raja kecil, yakni kaum tuan tanah yang sesungguhnya hidup di dusun-dusun
seperti raja yang berkuasa besar. Mereka ini orang-orang kaya yang memiliki tanah dan
sawah, menghisap tenaga dan memeras keringat oara buruh tani sampai habis. Para rakyat tani
menyewa tanah dari mereka dengan tarif yang amat tinggi dan sewenang-wenang sehingga
kalau hasil panen amat baiknya maka sisa hasil sawah yang dibayarkan kepada tuan tanah
hanya cukup untuk mengisi perut para petani dan keluarganya. Akan tetapi, dan hal ini sering
terjadi di Tiongkok pada masa itu, kalau bencana alam berupa musim kering yang panjang,
atau air sungai yang membanjir, juga gangguan rombongan belalang atau hama sawah lainnya
datang menyerang, jangan katakan untuk dimakan, bahkan untuk membayar "sewa tanah" saja
masih tidak cukup.
Lalu bagaimana kalau sampai terjadi hal demikian, yakni hasil panen tidak cukup untuk
membayar sewa dan "pajak" tanah ? inilah yang menyedihkan ! Si petani itu lalu
Naga Merah Bangau Putih > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
2
membayarkan seluruh hasil dan kekurangannya akan diperhitungkan sebagai "hutang" yang
takkan kunjung habis, takkan da[at terbayar sampai beberapa keturunan! Dan kalau sudah
demikian halnya, maka ia seakan-akan menjadi seekor kelinci dalam cengkraman harimau,
tidak berdaya sama sekali dipermainkan sesuka hatinya oleh tuan rumah. Ia seakan-akan telah
menggadaikan jiwa raganya kepada tuan tanah itu.
Oleh karena itu, bukan hal yang aneh terjadi di masa itu apabila seorang petani miskin
membayar hutangnya kepada tuan tanah dengan menyerahkan anak gadisnya untuk dijadikan
selir yang seringkali hanya dijadikan barang permainan belaka, atau menyerahkan ank lakilakinya untuk dijadikan bujang yang lebih rendah kedudukannya daripada seekor kerbau !
Dalam keadaan seperti itulah, maka cerita ini dimulai.
***
Tiongkok pada abad ke enam belas.
Barisan petani yang dibawah pimpinan pendekar rakyat Lie Cu Seng dengan gagah berani
maju terus dalam pemberontakan mereka untuk menumbangkan kekuasan kaisar dan berhasil
menduduki Peking sehingga kaisar melarikan diri dan akhirnya membunuh diri di atas sebuah
bukit.
Dengan demikian, maka tamatlah kerajaan Beng-tiauw dan sungguhpun pemberontakan
petani ini terjadi dan timbul karena buruknya pemerintahan yang mencekik rakyat kecil
sehingga pemberontakan itu dapat dianggap sebagai perjuangan perbaikan nasib, namun
mendatangkan keadaan yang amat tidak menguntungkan bagi negara Tiongkok, yakni
kedudukan menjadi amat lemah. Perang saudara ini melemahkan pertahan Tiongkok
terhadap musuh yang belih berbahaya dan kuat, yang datangnya dari utara, yakni bangsa
Mancu!
Pimpinan bangsa Mancu pada waktu itu adalah Hongtaichi, putra dari Nurhacu. Setelah
Hongtaichi menggantikan kedudukan ayahnya dan menjadi pimpinan bangsanya yang ketika
itu amat kuat, ia lalu menyerang dan mentaklukan Mongolia dalam dan kemudian
mengangkat diri sendiri sebagai kaisar (dalam tahun 1626) dan mengdirikan dinasti baru yang
disebut Ceng-Tiauw. Setelah memperkuat barisannya, mulailah Kaisar Hongtaichi melakukan
penyerbuan ke selatan, menuju pedalaman tanah Tiongkok!
Dengan demikian, maka kerajaan Beng-tiauw menghadapi dua serangan, dari luar
menghadapi barisan-barisan Mancu, sedangkan disebelah dalam terjadi pemberontakan petani
yang dipimpin oleh Lie Cu Seng! Sebagaimana telah dituturkan dibagian depan, kaisar Bengtiauw akhirnya tewas dan Peking terjatuh kedalam tangan pemimpin pemberontak Lie Cu
Seng yang telah memimpin pemberontakan selama tujuh belas tahun.
Akan tetapi baru saja Lie Cu Seng berhasil menduduki Peking dan menumbangkan
kekuasaan kaisar Bang-Tiauw, ia harus mengadakan persiapan baru untuk menghadapi musuh
dari luar yang lebih kuat dan berbahaya lagi, yakni Kaisar Hongtaichi yang telah memimpin
tentaranya masuk kedalam dari tembok besar!
Pada waktu Lie Cu Seng masuk ke kota raja, selain kaisar yang melarikan diri dan
kemudian tewas di puncak bukit, juga banyak kaum bangsawan melarikan diri atau terbunuh
oleh barisan pemberontak. Betapapun besar rasa bencinya kaum petani yang memeberontak
itu terhadap kaum bangsawan yang telah memeras dan menginjak-injak mereka selama
puluhan bahkan ratusan tahun, namun banyak pula diantara kaum bangsawan yang tidak
diganggu, yakni kaum bangsawan yang memang berhati budiman. Lie Cu Seng telah
memiliki daftar nama-nama bangsawan yang harus dibasmi dan bangsawan yang dapat diajak
kerja sama.
Diantara para bangsawan yang tidak terganggu, terdapat seorang pangeran yang bernama
Naga Merah Bangau Putih > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
3
Liok Han Swee. Dia ini menjabat kedudukan pengurus bendahara kaisar dan tidak ikut
melarikan diri dengan kaisar atau bangsawan lain karena selain ia sudah tua, juga Liok Han
Swee merasa akan kebersihan dirinya dan tidak takut menghadapi pembalasan dendam para
pemberontak.
Benar saja, setelah ibukota jatuh, bangsawan she Liok ini tidajk diganggu, karena Lie Cu
Seng melarang anak buahnya mengganggu orang-orang yang tidak termasuk dalam daftar
hitam.
***
Gedung Pangeran Liok Han Swee adalah sebuah gedung besar dan kuno yang amat indah,
karena gedung ini adalah milik nenek moyangnya yang dulu menjabat kedudukan tinggi
sehingga mendapatkan hadiah dari kaisar berupa gedung besar itu.
Liok Han Swee hanya mempunyai seorang putera, seorang pemuda sastrawan yang selain
oadai dalam ilmu kesusasteraan juga amat tampan dan elok wajahnya. Semenjak beberapa
tahun yang lain, punyanya yang bernama Liok Houw Sin telah dipertunangkan dengan puteri
seorang panglima perang she Song. Houw Sin belum pernah melihat tunangannya yang
kabarnya amat cantik, akan tetapi diam-diam dia kurang puas dengan pilihan ayahnya, karena
memang pemuda sastrawan itu tidak suka kepada orang-orang yang memegang golok dan
pedang, apalagi seorang panglima besar seperti calon mertuanya itu.
Sesungguhnya, bukan hal itu saja yang membuat Houw Sin tidak suka akan
pertunangannya itu, akan tetapi ada hal lain yang lebih penting, yakni hubungannya dengan
seorang gadis pelayan keluarga pangeran itu. Gadis ini semenjak kecil "dijual" oleh ayahnya,
seorang petani miskin, untuk membayar hutangnya kepada tuan tanah, dan akhirnya oleh tuan
tanah itu ia "dihadiahkan" pula kepada Pangeran Liok. Memang, pada waktu itu, para tuan
tanah dan hartawan selalu mendekati para pembesar untuk "mengambil hatinya" dengan jalan
menyogok dengan uang atau apa saja yang kiranya dapat menyenangkan hati si pembesar!
Pangeran Liok tergerak hati nuraninya melihat anak perempuan yang ketika itu baru
berusia kira-kira delapan tahun itu, karena memang Sui Lan, demikian nama gadis itu
berwajah cantik bersih dan mempunyai sepasang mata yang jeli dan indah. Semenjak saat itu,
menjadilah Sui Lan sebagai pelayan didalam gedung besar itu dan hidupnya beruntung.
Keluarga pangeran itu amat baik terhadap dia, karena gadis inipun tahu disi dan dapat bekerja
rajin sekali. Ia bahkan menjadi kesayangan Nyonya Liok dan hanya kepada Sui Lan ia
mempercayakan kamaar-kamarnya untuk diatur dan di bereskan.
Usia Sui Lan hanya lebih muda dua tahun dari Houw Sin dan karena pemuda ini
merupakan putera tunggal, maka Houw Sin meneukan seorang kawan bermain dalam diri Sui
Lan. Ia tidak bersaudara dan Sui Lan adalah seorang anak yang manis dan jenaka, maka tentu
saja ia amat suka bermain dengan anak perempuan ini. Bahkan ua lalu mengajar ilmi
membaca dan menulis kepada pelayan kecil ini sehingga pergaulan mereka menjadi semakin
erat.
Seringkali Pangeran Liok dan isterinya mengerutkan kening ketika melihat manisnya
pergaulan kedua anak ini, akan tetapi oleh rasa sayangnya kepada outera tunggal yang
dimanja itu, mereka tidak menegut dan menganggap bahwa puteraa mereka masih kecil.
"Kalau ia sudah dewasa dan tahu bahwa Sui Lan hanyalah seorang bujang, tentu ia akan
malu sendiri untuk mendekatinya" kata Pangeran Liok.
Akan tetapi, kedua orang tua ini sama sekali tidak tahu bahwa Houw Sin dan Sui Lan tidaj
saja menganggap masing-masih sebagai kawan bermain yang menyenangkan, akan tetapi juga
menganggap masing-masing sebagai orang yang paling baik dan manis budi disunia ini!
Waktu berlalu cepat dan setelah kedua anak ini menginjak remaja, bersemilah tunascinta
Naga Merah Bangau Putih > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
4
yang mendalam di hati masing - masing.
Cinta kasih yang terjalin diantara dia dan Sui Lan inilah sesungguhnya yang memebuat
Houw Sin tidak suka akan pertunangannya denga Bwee Eng, putri dari Panglima she Song
itu. Akan tetapi, tentu saja ia tidak berani menyatakan sesuatu kepada orang tuanya, apalagi
karena pertunangan itu telah diadakan semenjak dia masih kecil.
Setelah meliha betapa putera mereka yang telah dewasa itu masih saja mengadakan
pergaulan yang manis dengan Sui LAn yang kini telah menjadi seorang gadis yang cantik
manis, nulai khawatirlah hari Pangeran Liok dan istrinya. Kini mulailah mereka menegur dan
berusaha menjauhkan pergaulan mereka.
"Houw Sin" kata ayahnya kepada pemuda itu, "kau sudah dewasa, dan bukan kanak-kanak
lagi, Kulihat kau terlalu dekat bergaul dengan Sui Lan. Ini tidak baik, anakku. Ingatlah bahwa
kau adalah puteraku dan Sui Lan hanyalah seorang pelayan kita. Sungguhpun aku percaya
bahwa tidak ada pikiran kotor dalam hatimu terhadap Sui Lan, akan tetapi kalau terlihat oleh
orang lain, dapat menimbulkan dugaan yang bukan-bukan!"
Sementara itu, didalam kamarnya ketika Sui Lan seperti biasa membereskan kamar
majikannya, Nyonya Liokjuga berkata dengan suara halus namum mengandung ancaman.
"Sui Lan, sekarang kau sudah bukan anak - anak lagi, kau sudah dewasa, maka jangan kau
mengurus kamar dari tuan muda lagi."
Berdebarlah jantung gadis itu, akan tetapi ia hanya menundukan mukanya yang manis
sambil berkata,
"Semenjak kecil saya yang membereskan kamar kongcu, kalau sekarang saya tidak
melakukannya apakah kongsu tidak akan marah ? dan siapakah yang akan membereskan
kamar kongcu ?"
"Ada pelayan lain yang akan melakukannya dan kongcu tentu tidak akan marah. Tidak pantas
kau memasuki kamarnya lagi, dan ...... Sui Lan ...."
Gadis itu menengok dan menyembunyikan perasaannya yang kecewa.
"Jangan dilanjutkan lagi pergaulanmu dengan kongcu. Kau dan kongcu sudah dewasa, tidak
patut seorang tuan muda bergaul rapat dengan seorang pelayan."
Terbelalak kedua mata yang jeli dan bening itu, akan tetapi ia tidak berani mengeluarkan
suara karena maklum kalau hal itu ia lakukan, tentu suaranya akan terdengar gemetar.
"Kau seorang pelayan yang baikm Sui Lan, dan kami suka dan kasihan kepadamu, Hal ini
tentu dapat kau rasakan semenjak kau tinggal disini. Akan tetapi, sungguh-sungguh
pergaulanmu dengan kongcu tidak patut kalau dilanjutkan, biarpun kau percaya bahwa kau
tidak akan melakukan sesuatu yang memalukan. Ah,..... sudahlah, pendeknya muali sekarang
kau tidak boleh terlalu sering bertemu dengan kongcu, dan kalau sewaktu-waktuu ada perlu
sehingga kongcu memanggil, kau tidak boleh bicara kepadanya dengan tersenyum-senyum,
tidak boleh bicara manis kepadanya."
"Nyonya....."
"Bukan sekali-kali aku hendak menuduhmu yang bukan-bukan, Sui Lan. Hanya saja, tidak
patut terlihat oleh orang lain betap kau bersikap manis dan bicara dengan Houw Sin seakanakan ia itu kawanmu sendiri. Dulu memang demikian sewaktu kau dan Houw Sin masih kecil,
akan tetapi, sekarang kalian telah dewasa dan kau adalah seorang pelayan yang seharusnya
dapat bersikap selayaknya terhadap tuan muda atau majikan mudamu!.
Setelah berkata demikian, Nyonya Liok meninggalkan pelayan itu. Semenjak tadi Sui Lan
telah mendengarkan dengan muka pucat dan air mata yang ditahan-tahannya agar tidak jatuh,
membuat matanya terasa panas sekali. Kini setelah nyonya Liok pergi, tak tertahan lagi
kehancuran hatinya dan dia menangis terisak-isak sambil menjatuhkan diri berlutut diatas
lantai. Betapa takkan remuk-redam perasaannya, takkan perih luka hatinya. Di dunia ini hanya
Houw Sin seoranglah pujaan hatinya. pemuda itulah satu-satunya orang yang menjadi cahaya
bagi lubuk hatiny, bagaikan matahari menerangi bumi. Tanpa adanya Houw Sin, rumah
Naga Merah Bangau Putih > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
5
gedung besar indah itu mungkin akan berobah menjadi neraka, dan dunia yang ramai ini akan
terasa sunyi. Ia telah melupakan asal-usulnya, melupakan orangtuanya, melupakan
kesengsaraannya hanya karena ada senyum dibibir Houw Sin dan seri sinar mata pemuda itu
di kala memandangnya. Ia telah menumukan kebahagian, menemukan kebgembiraan hidup,
hanya karena dari bibir pemuda itu telah keluar pernyataan cinta kasihnya!.
Memang sebelum Pangeran Liok dan istrinya turun tangan, kedua oran muda itu telah
saling menukar hati, memadu cinta kasih, yang mesra. Sambil menangis terisak-isak disalam
kamar, Sui Lan membayangkan pertemuannya dengan pemuda pujaan kalbunya itu. Houw
Sin telah menyatakan cinta kasihnya, telah bersumpah akan hidup bersama, akan
melindunginya.
"Akan tetapi kongcu," demikian bantahnya terhadap pemuda yang bersemangat karena
sedang dibakar oleh api cinta itu. "bagaimanakah hal ini bisa dilanjutkan> Tak perlu lagi
dibicarakan lebih mendalam, semua orang tahu bahwa tidak mungkin kita melakukan
perhubungan dan tak mungkin kita menjadi suami istri. Kau adalah putera tunggal majikanku,
dan aku ... aku hanya seorang pelayan! kau adalah seorang putera bangsawan, putera seorang
pangeran yang berpangkat tinggi, sedangkan aku ... aku hanyalaj seorang yang tidak kenal
lagi siapa ayah dan bundaku.... seorang gadis yatim piatu sungghpun belum kuketahui pasti
apakah orangtuaku telah meninggal dunia, aku seorang gadis rendah miskin dan hina...."
Akan tetapi Houw Sin menutup bibirnya dengan tangannya dengan mesra. "Jangan kau
bicara begitu, kekasihku. Kau bukan seorang gadis seperti yang kau katakan itu. Aku telah
mengenalmu semenjak kecil, telah tahu bahwa aku adalah seorang gadis termulia di dunia ini.
Apakah kau berani menyatakan bahwa kau.... tidak suka kepadaku ?
Sui Lan menghela nafas, "Kongcu, tanpa kukatakann, kau tentu telah maklum akan isi
hatiku. Kaulah satu-satunya didunia ini yang menjadi cahaya hidupku bersandar ... akan tetapi
kongcu, kau telah bertunangan!. kau adalah calon suami dari Song siocia, puteri panglima
itu!"
"Hah, segala orang peperangan!" kata Houw Sin dengan sebal. "Aku akan menolak apabila
dinikahkan dengan putri pembunuh itu!"
"Hush....jangan berkata demikian, kongcu, ...."
"Sui Lan," Houw Sin memeluknya. " percayalah selama hayat masih dikandung badan, aku
akan melindungimu, membelamu, dan hanya kau seorang yang patut menjadi istriku."
"kongcu"
Akan tetapi pemuda itu tidak memberi kesempatan lagi kepadanya untuk membantah lagi.
Dan apakah yang harus dibantahnya? semua ucapan yang keluar dari mulutnya tidak sesuai
dengan suara hatinya menuntut haknya atas pemuda pejuannya ini, dan sungguhpun
kesadaran dan pertimbangannya tidak membenarkan sikapnya ini, namun hati yang semenjak
kecil telah haus akan kasih sayang seseorang kepadanya itu akhirnya tunduk. Semenjak kecil
ia telah kenyang akan kepahitan hidup, akan kesengsaraan hidup. Maka kini menghadapi
kebahagiaan yang diberikan oleh Houw Sin, ia runtuh.
Pemuda ini benar-benar menyintanya, ia maklum akan hal ini, dan dia.... dia seorang pelayan
yang tidak mempunyai harapan, tidak mempunyai pegangan hidup, yang selama hidupnya
hanya menerima perintah, hanya menerima apa saja yang orang berikan kepadanya, yang
selalu taat, tunduk dan tidak pernah membantah, akhirnya ia menyerah akan kehendak Houw
Sin, kehendak hatinya sendiri. Sebagai seorang yang kehausan di padang pasir, ia mereguk
apa saja yang merupakan minuman, yang dapat mengurangi rasa haus. Ia mereguk apa saja,
biar anggur manis yang memabokan sekalipun. Ia tidak peduli, ia menyinta Houw Sin! Maka
diserahkanlah jiwaraganya kepada pemuda junjungannya itu!
Dan kini setelah ia menjadi sebagian dari Houw Sin, setelah kini tak mungkin lagi baginya
untuk memjauhkan diri dari Houw Sin, datanglah peringatan dari Nyonya Liok ini. Ucapan
Nyonya Liok yang biasanya diterimanya dengan girang, sebagai perintah yang harus
Naga Merah Bangau Putih > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
6
ditaatinya, kini merupakan sebatang golok yang jatuh menimpa lehernya dari atas. Merupakan
keputusan maut yang akan merenggut kebahagiannya.
Cinta itu bagaikan air bah yang makin dihalangi, makin di bendung, akan menjadi makin
nampak kekuasan dan tenaganya yang luar biasa. Biarpun kedua orang muda saling mencinta,
maka cinta akan berjalan tenang menurut liku-liku tertentu, bahkan ketenangan itu mungkin
sekali akan berakhir dengan kesurutan kembali. Akan tetapi coba halangi atau menjauhkan
dua orang muda yang saling jatuh cinta, maka bagaikan air bah yang dibendung, cinta dan
menggelora, akan mengamuk, akan mendobrak, dan menghancurkan segala rintangan bahkan
akan melampaui batas-batas, menbanjir dan merajalela dengan dasyatnya!
Demikianpun halnya dengan Sui Lan dan Houw Sin. Setelah mendapat tentangan dari
Pangeran Liok suami istri, cinta mereka tidak tenagn lagi. Perasaan gelisah dan khawatir akan
kehilangan kekasih yang dicintanya, membuat cinta mereka makin dasyat menggelora,
mengamuk didalam hati masing-masing. Mereka masih mengadakan pertemuan dengan
rahasia, dan larangan orang tuanya membuat Houw Sin menjadi nekad, dan membuat Sui Lan
menjadi bingung, cemas, dan kehilangan pegangan. Hal ini membuat kedua orang muda itu
menjadi gelap pikiran, menjadi lupa akan segala larangan, akan segala ikatan tata susila!
Pangeran Liok dan istrinya maklum akan hal ini dan mereka merasa semakin gelisah.
"Tidak ada jalan lain, kita harus memilih seorang pemuda untuk Sui Lan, Ia harus
dinikahkan agar dapat keluar dari sini dengan baik, agar ia dapat berumah tangga sendiri",
kata Nyonya Liok yang betapapun juga tidak tega untuk mengusir Sui Lan begitu saja.
Beberapa hari kemudian, nyonya Liok memanggil Sui Lan yang menghadap dengan hati
berdebar.
"Sui Lan, tahukah kamu, sudah berapa tahun usiamu sekarang?
Sui Lan menundukan kepalanya. Bagaimanakah seorang gadis seperti dia dapat mengetahui
usianya ? hanya putri orang-orang bangsawan saja yang dapat mengetahui usianya. Maka ia
menggelengkan kepalanya sambil masih tertunduk.
"Sudah delapan tahun kau ikut dengan kami, dan ketika kali kau menginjakan kakimu di
lantai rumah kami, kau baru berusia delapan tahun, Maka sekarang kau telah berusia delapan
belas tahun, Sui Lan, usia yang cukup dewasa untuk melangkahkan kaki keluar dari ambang
pintu, mengikuti jejak seorang suami."
Pucatlah muka Sui Lan mendengar ini dan ia haay mengangkat mukanya, memandang
wajah nyonya majikannya yang duduk diatas kursi. Kemudian sambil masih berlutut, ia
menundukan kepala kembali.
"Sui Lan, kau tau bahwa aku selalu sayang kepadamu, dan aku tidak menghendaki kau
hidup sengsara setelah kau meninggalkan kami. Oleh karena itu, aku telah mencarikan
seorang suami yang baik untukmu, seorang pegawai dari kantor majikanmu sendiri. Dalam
bulan ini juga pernikahan akan dilangsungkan, maka harap kau bersiap dan bergembira
mendengar berita naik ini."
Tiba-tiba Sui Lan tidak dapat menahan kesedihannya lagi dan ia menjatuhkan diri
menangis tersedu-sedu....
"Eh,..Eh... Sui Lan mengapa kau menangis ?" tanya Liok-hujin dan suaranya mengandung
kemarahan karena nyonya ini dapat menduga bahwa tangis gadis ini tentulah karena
puteranya!
"Ampunkan saya, Nyonya besar, saya ... saya tidak ingin menikah .... tidak ingin
meninggalkan Nyonya besar yang telah melepas budi kepada saya, .... saya ingin melayani
nyonya sampai napas terakhir....."
Sungguh ucapan ini bermaksud bahwa Sui Lan ingin menghambakan diri sebagai pelayan
selamanya. akan tetapi dapat juga dimaksudkan bahwa ia ingin melayani nyonya itu selama
hidupnya, yang berarti tentu saja sebagai seorang mantu! Karena hanya seorang mantu
perempuanlah yang akan melayani mertuanya sampai kematian memisahkan mereka!
Naga Merah Bangau Putih > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
7
Marahlah Nyonya Liok mendengar ini, "Apa ....?!? Kau hendak membantah ? Ingat, Sui
Lan jangan kau menjadi seorang kurang penerima, seorang yang tak mengenal budi. Aku
berusaha sedapatku untuk kebaikan dan kebahagiaanmu, kau tidak menerima dengan girang
dan berterima kasih, sebaliknya malah menjengkelkan aku dengan tangismu!"
"Ampun .... saya. .... Saya...."
"Sudah, pergilah kekamarmu dan hentikan tangismu! Kau tidak boleh membantah. Aku
masih bersabar, akan tetapi kalau taijin mendengar akan penolakanmu ini, ia tentu akan marah
sekali kepadamu!"
Bagaikan seekor anjing kena pukul, Sui Lan mengundurkan diri dengan menundukan
kepalanya. Setibanya didalam kamarnya, ia lalu membantng diri diatas pembaringan dan
menangis sepuas hatinya. Sampai hari menjadi malam ia tidak meninggalkan kamarnya.
Cinta dapat membuat seorang pemuda melakukan hal yang aneh-aneh, Houw Sin, putera
tunggal, seorang pangeran agung melam hari itu jalan sembunyi2 bagaikan seorang maling!
Seorang maling dalam rumah gedungnya sendiri, ia merasa gelisah karena tidak melihat Sui
Lan sehari itu, dan ketika ia mendengar dari seorang oelayan lain bahwa Sui Lan habis
mendapat marah dari ibunya, ia menyesal sekali. Malam hati itu, menjelang tengah malam, ia
pergi ke kamar Sui Lan bagaikan seorang maling.
Setibanya diluar kamar Sui Lan tiba2 mendengar suara isak tangis tertahan, lalu
mendengar suara perlahan dari dalam kamar itu.
"Kongcu...kongcu... hanya dengan kau seorang aku mau hodup sebagai istri... kalau orang
memaksaku ... ah... kongcu... kanda Houw Sin .... suamiku ... selamat tinggal!"
Mendengar kata2 terakhir ini, Houw Sin terkejut sekali dan bagaikan seorang gila ia lalu
melompat dan mendorong pintu kamar Sui Lan. Sambil menahan seruannya ia melompat ke
arah Sui Lan dan dengan cepat merenggutkan tali pengikat pinggang yang telah dipasang pada
gantungan kelambu dan ujungnya telah merupakan tali gantungan!
"Sui Lan.... kau...kau gilakah ...?"
"Kongcu..." Sui Lan terhuyung-huyung ke depan dan ia roboh dalam pelukan Houw Sin
dalam keadaan pingsan!.
Setelah siuman kembali, sambil menangis Sui Lan menceritakan kekasaihnya betapa dia
dipaksa hendak dikawainkan dengan seorang pemuda lain.
"Bagaimana aku dapat menjalaninya ... ?" terdengar suaranya diantara isak tangis. "Aku
telah bersumpah takkan mau menjadi istri orang lain ... aku telah menjadi istrimu... bahkan ...
aku telah menjadi calon ibu dari anakmu ... ah kongcu ... kau bunuhlah saja aku ... orang
hinadina ini .... "
Hancur hati Houw Sin mendengar ini. Ia maklum bahwa Sui Lan telah mengandung, dan ia
sedang memikirkan bagaimana caranya untuk minta perkenanan orang tuanya agar ia
dinikahkan dengan gadis ini. Sekarang timbul hal yang lebih memusingkan ini!
"Sudah, jangan menangis kekasihku," ia menghibur. "Jangan kau khawatir bagaimanapun
juga aku akan tetap membelamu. Kita harus mencari jalan!"
Demikian, malam hari itu mereka berunding dan akhirnya diambil keputusan bahwa Sui
Lan akan ditolong oleh Houw Sin minggat dari gedung itu. Untuk sementara Sui Lan akan
disembunyikan dalam rumah bekas pelayan yang menjadi orang kepercayaan Houw Sin. hal
ini hanya untuk menghindarkan pernikahan paksaan itu. Kemudian, apa yang akan mereka
lakukan selanjutnya akan diatur kelak.
Dan pada tiga hari berikutnya pada suatu malam, lenyaplah Sui Lan dari rumah gedung
pangeran Liok, dimana ia telah dibesarkan selama delapan tahun! Tak seorangpun dapat
menduga bahwa ini adalah perbuatan Houw Sin sungguhpun kedua orang tua pemuda itu
merasa curiga.
Naga Merah Bangau Putih > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
8
***
Sementara itu, kota raja telah mendapat ancaman hebat dari musuh, yakni balatentara
Mancu yang dipimpin oleh kaisar Hong-taichi!
Setelah dapat merebut Peking dan menumbangkan kekuasaan kaisa, Lie Cu Seng lalau
mengirim utusan untuk menghubungi dan membujuk Jenderal Gouw Sam Kwi yakni seorang
jendral barisan kerajaan Beng-tiauw yang telah runtuh, yang pada waktu itu berkedudukan di
Pegunungan San-hai-kuan, untuk bersama-sama menghadapi serangan tentara mancu dari
utara. Akan tetapi jendral Gouw Sam Kwi menolak ajakan ini, bahkan menyatakan lebih suka
bergabung dengan tentara Mancu untuk merebut kembali kota raja.
Tentu saja Lie Cu Seng marah sekali, lalu memimpin 20 laksa tentara untuk menyerang
barisan jendral itu di pegunungan San-hai-kuan. Akan tetapi tiba-tiba tentara mancu yang
sudah tiba disitu muncul dengan jumlah yang amat besar menyerang dari sayap kiri. Barisan
petani dibawah pimpinan Lie Cu Seng terjebak dan akhirnya terpukul mundur. Barisan Mancu
terus mengejar dan akhirnya mereka berhasil menyerbu dan memasuki Peking!!
Betapapun hebat pertahanan dan perlawanan yang dilakukan oleh Lie Cu Seng, namun
ternyata kekuatan musuh lebih besar dan tidak dapat dicegah lagi, kota raja direbut oleh
barisan musuh. Lie Cu Seng terpaksa melarikan diri keselatan untuk membentuk barisannya
kembali. Hal ini terjadi dalam tahun 1644 pada bulan mei.
Dan penyerbuan tentara Mancu didalam kota Peking ini terjadi tepat sehari setelah Sui Lan
melarikan diri dari gedung Pangeran Liok. Keadaan kota raja menjadi kacau balau. Tentara
Mancu seperti biasanya melakukan perampokan dan pembunuhan secara kejam sekali. Harta
benda penduduk dijadikan perebutan, orang2 lelaki muda dibunuh dengan kejam, orang2 tua
dipukuli, anak2 ditendangi, dan perempuan2 muda diculik.
Para pembesar kerajaan Beng-tiauw yang dulunya tidak berani berkutik ketika Lie Cu Seng
masih berkuasa di Peking, kini muncul dan mulai menjilat-jilat ujung sepatu orang Mancu.
Demikian pula, para tuan tanah yang melihat bahwa orang-orang Mancu mendapat
kemenangan, segera merangkak-rangkak dan membungkuk-bungkuk membawa bingkisan
untuk mengambil hati. Pada wakti Lie Cu Seng dan barisan petani yang berkuasa, mereka ini
sama sekali tidak berdaya.
Akan tetapi, bukan semua bangsawan menjilat-jilat ujung sepatu orang2 mancu, karena
adapula beberapa orang bangsawan yang berjiwa gagah dan tidak mau tunduk terhadap
orang2 asing yang datang menjajah ini!. Diantara mereka ini termasuk juga Pangeran Liok
Han Swee.
Sebelum tentara Mancu masuk ke kota, yakni pada pagi harinya, Pangeran Liok sekeluarga
telah ribut mulut. Antara Pangeran Liok, isterinya, dan putera mereka Houw Sin terdapat
pertentangan kehendak masing-masing. Pangeran Liok menghendaki agar Houw Sin cepat
meninggalkan kota raja menggabung dengan rombongan Panglima calon mertuanya yang
akan mengungsi ke selatan, akan tetapi Houw Sin tidak mau karena pemuda ini teringat akan
kekasihnya yang masih tinggal bersama bekas pelayannya. Nyonya Liok mengajak suaminya
mengungsi akan tetapi Pangeran Liok tidak mau meninggalkan gedungnya. Akhirnya
Pangeran Liok marah sekali dan berkata kepada puteranya.
"Houw Sin, kau adalah putera tunggalku. Kau masih muda dan kau tidak boleh tinggal
disini karena kalau kau sampai tewas, siapakah kelak yang akan menyambung keturunan
keluarga kita? Aku sudah tua dan aku tidak sudi lari hanya karena datangnya penjaha2
mancu! Aku tidak takut, kalau mereka mau bunuh biar bunuh ! Aku tidak mau bertrkuk lutut
dan juga tidak sudi melarikan diri. Akan tetapi, kau harus pergi ke rumah calon mertuamu dan
ikut pergi ke selatan dengan mereka. Kemudian kau boleh melangsungkan pernikahan dengan
tunanganmu. hal ini sudah kubicarakan dengan Song-ciangkun (Panglima Song)"
Karena ayahnya berkeras, akhirnya Houw Sin meninggalkan rumahnya akan tetapi ia tidak
Naga Merah Bangau Putih > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
9
pergi ke rumah calon mertuanya, melainkan pergi ke rumah bekas pelayannya untuk menemui
Sui Lan ! Baru saja ia sampai ditengah jalan, keadaan sudah menjadi kacau balau karena
tentara petani yang memepertahankan kota itu sudah terpukul hancur dan tentara musuh telah
ada sebagian yang masuk ke kota! Diantara gelombang manusia yang mengungsi, Houw Sin
mencari kekasihnya akan tetapi ternyata rumah bekas pelayannya itu telah terbakar habis dan
dia tidak menemukan kekasihnya ditempat itu. Tidak seorangpun yang dapat ia tanyai. karena
para tetangga dijalan itupun sudah pada melarikan diri. dengan bingung dan gelisah, Houw
Sin mencari-cari akan tetapi mencari seorang gadis seperti Sui Lan diantara ribuan orang yang
berlari kacau balau tentu saja tidak mungkin!
Sementara itu, kekacauan telah terjadi disana-sini. rumah-rumah dibakar, tangis dan pekik
terdengar dimana-mana. Houw Sin akhirnya putus asa dan berlari kembali ke gedung orang
tuanya, akan tetapi apa yang dilihatnya ? Gedung itu sudah dirampok habis-habisan dan
bahkan kini telah berkobar-kobar dimakan api! Ternyata bahwa sebagai seorang bangsawan
yang tidak ikut dalam rombongan bangsawan penjilat yang menyambut kedatangan musuh
dengan baik. Pangeran Liok lalu didatangi sepasukan orang Mancu dan seluruh penghuni
rumah itu di bunuh, harta bendanya dirampok dan rumahnya dibakar!
Hampir saja Houw Sin jatuh pingsan melihat betapa rumahnya terbakar hebat, karena ia
khawatir akan nasib ayah-bundanya. kemudia ia menjadi nekad dan hendak lari memasuki
pintu rumah yang sedang berkobar hebat itu. Akan tetapi tiba-tiba dua buah lengan yang kuat
memegang pundaknya dan ketika ia menengok, ternyata yang memegannya adalah Panglima
Song Liong, ayah tunangannya.
"Houw Sin, jangan berlaku bodoh! kau mau berbuat apa ?"
"Lepaskan....! Gakhu (ayah mertua), lepaskan aku... aku hendak menolong ayah dan ibu
....!"
Akan tetapi pegangan panglima yang berpakaian seperti orang biasa itu makin menguat.
"Tiada gunanya lagi, Akupun datang terlambat. Ayah bunda mu, seluruh isi rumah telah
dibunuh, tiada gunanya lagi. Hayo kau ikut aku menyusul rombongan keluargaku!"
"Tidak.... tidak...."
Akan tetapi ia tidak berdaya dalam pegangan Song-ciangkun yang kuat.
"Bodoh! Ayahmu sendiri yang menghendakiagar kau ikut dengan kami. Hayo dan jangan
banyak ribut, kalau terdengar dan terlihat oleh musuh, kita celaka!" Setengah memaksa Songciangkun menyerat tangan Houw Sin yang masih berteriak-teriak memanggil nama ayah
bundanya sambil menangis itu, bahkan pemuda itu saking sedihnya lalau jatuh pingsan!
Panglima Song tidak mau membuang waktu lagi, Ia lalu memanggul tubuh pemuda itu dan
membawanya lari keluar kota dari pintu selatan, menyusul rombongan keluarganya yang
sudah lari terlebih dahulu.
***
Marilah kita ikuti pengalaman Sui Lan. Ketika terdengar suara ribut2 diluar pintu rumah
itu bersama bekas pelayan yang berada dirumah itu, ia lalu keluar dari pintu.
"Musuh telah menyerbu!! musuh telah memasuki kota ! Lari... ! Penjahat2 Mancu
merampok dan membunuh!" Demikianlah teriakan2 orang yang berlari -lari itu. Sui Lan
menjadi pucat, juga pelayan tua itu menjadi takut sekali.
"Hayo kita melarikan diri!" ajaknya kepada Sui Lan, akan tetapi gadis ini tidak mau.
"Aku harus menanti kongcu ... aku tidak bisa meninggalkan dia...!"
Saking takutnya, pelayan tua itu lalu melarikan diri lebih dulu, meninggalkan Sui Lan
seorang diri dirumah itu. Gadis itu tidak pernah meninggalkan ambang pintu, dan a melihat
betapa orang2 yang berlari makin banyak saja. Ia menanti - nanti datangnya Houw Sin, akan
tetapi pemuda itu tidak kunjung datang! Bukan main gelisah tan takutnya. Apalagi ketika
Naga Merah Bangau Putih > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
10
melihat betapa rumah-rumah didekat situ sudah mulai dibakar dan terdengar teriakan dan
tangisan yang menyayat hati. Akhirnya ketika melihat betapa rumah2 tetangga disitu yang
sudah ditinggalkan penghuninyapun dibakar oleh musuh, terpaksa Sui Lan melarikan diri dari
pintu belakang. Ia berlari menuruh arah orang2 tadi melarikan diri, yakni ke pintu gerbang
sebelah selatan.
Jalan-jalan telah menjadi sunyi dan Sui Lan berlari seorang diri secepat mungkin. Kedua
kakinya telah terasa sakit sekali, akan tetapi rasa takut membuatnya bertahan dan berlari terus.
Tiba-tiba ia mendengar suara berkata keras,
"Nona, cepat2 lari! penjahat2 sudah masuk kota!"
Sui Lan menengok dan melihat seorang setengah tua yang bertubuh tinggi besar melarikan
diri dengan cepat sekali sambil memanggul seorang pemuda.
"Kongcu... ! Sui Lan menjerit ketika mengenal pemuda yang pingsan dan dipanggul itu
sebagai Houw Sin! Akan tetapi, orang tua yang bukan lain adalah Song-ciangkun sendiri,
telah berlari jauh dan tidak tahu bahwa jeritan itu ditujukan kepada calon mantunya.
"Kongcu... ! Kongcu ...! Kanda Houw Sin !! Sui Lan menjerit2 sambil berlari makin cepat,
akan tetapi sia - sia belaka, karena Song-ciangkun telah mempergunakan ilmu lari cepat
sehingga tak nampak bayangannya lagi.
Sui Lan masih memanggil-manggil dan berlari terhuyung-huyung ke depan. Beberapa kali
ia jatuh, bangun lagi dan beralri terus ke selatan. Pintu gerbang selatan terbuka lebar dan
kosong. Gadis itu berlari terus. Baiknya para tentara Mancu masuk kota sambil merampok
dan membakar, kalu mereka terus mengejar ke selatan, tentu mereka akan dapat menyusulSui
Lan.
Sampai hari menjadi gelap, gadis itu masih saja berlari-lari masuk ke sebuah hutan.
Larinya tidak kencang lagi karena kedua kakinya telah bengkak, tubuhnya lemas, dan
sunguhpun masih terdengar tangisnya, akan tetapi air matanya tidak mengeluarkan air mata
lagi. Sudah habis air matanya ditumpahkan dan akhirnya ia tidak kuat lagi, menjatuhkan diri
diatas rumput dan rebah menelungkup sambil terisak-isak.
"Kongcu... ! Kongcu ...!" bibirnya masih bergerak memanggil kekasihnya dan tak lama
kemudian dia tak sadarkan diri!
Ketika ia siuman kembali, gelap pekat menyelimuti sekelilingnya, Jangankan melihat
benda lain disekililingnya, sedangkan tangannya sendiripun tak tampak. Ia menjadi ketakutan
sekali dan meraba-raba kesekitarnya. Ketika tengannya meraba akar pohon ia lalu merangkak
menuju batang pohon yang tumbuh tak jauh dari situ. Ia teringat akan buntalan pakaian dan
sedikit makanan yang dibawanya dari rumah, akan tetapi ia tidak pedulikan hal ini dan
menyandarkan tubuhnya pada batang pohon besar itu. Pikirannya melayang kembali ke
peristiwa yang dialaminya.
Timbul rasa menyesal yang besar sekali. Kalau ia tidak melarikan diri, tentu iamasih
berada di gedung besar Pangeran Liok dan dalam keadaan aman! Akan tetapi ia teringat akan
Houw Sin yang dipondong dan dibawa lari oleh orang tinggi besar tadi. Kenapakah
kekasihnya itu ? terlukakah ? atau ... atau sudah meninggalkah ? Ia bergidik ngeri dan
kedukaan hebat meliputi hatinya.
Ia teringat kembali akan niatnya membunuh diri di malam hari itu di dalam kamarnya
ketika Nyonya Liok memaksanya untuk menikah dengan orang lain. Pikiran ini kembali
timbul dalam ingatannya. Kemana ia harus pergi ? Apa yang harus dilakukan selanjutnya?
Kembali ke rumah Pangeran Liok ? Tidak Mungkin! ia sudah melarikan diri dan lagipula,
kekeasihnya telah pula pergi meninggalkan kota raja. Apa yang harus dilakukan selanjutnya ?
Jalan amat gelap baginya, disana sini buntu, tidak ada jalan keluar. Ia tidak mempunya
kerabat, tidak ada handai taulan, tiada kawan, sebatang kara diatas dunia yang luas ini. Masa
depannya gelap gulita, sama gelapnya dengan malam itu. Ketika ia menengok ke arah utara, ia
melihat langit disebelah utara memerah dan bergidiklah dia. Tentu kota raja menjadi lautan
Naga Merah Bangau Putih > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
11
api, pikirnya. Sudah terang ia tidak mungkin dapat kembali ke kota raja. Selain takut pada
keluarga Liok, ia juga takut kepada perampok2 mancu itu.
Tiada jalan lain kecuali mengakhiri hidup sengsara ini! Pikiran ini membuatnya bertenaga
kembali dan sambil merangkak-rangkak dicarinyalah bungkusannya. Didalam bungkusan itu
ia akan bisa mendapatkan sehelai ikat pinggang yang panjang, dan pohon yang disandarinya
itu akan merupakan tempat menghabiskan nyawa yang baik dan kuat.
Ia mendapatkan kembali bungkusannya dan ketika dibukanya, yang terpegang terlebih
dahulu adalah sebungkus roti kering yang dibawanya dari rumah tadi. Tiba-tiba ia merasa
betapa perutnya amat lapar dan perih dan ketika meraba perutnya dengan tangan kiri,
terkejutlah dia. Terduduk kembali ia dan tak terasa pula ia menangis tersedu-sedu dambil
mengelus-elus perutnya. Tidak mungkin ia membunuh diri. Ia tidak takut untuk menghabisi
nyawanya sendiri, akan tetapi dengan jalan membunuh diri, sama juga dengan membunuh
pula anak dalam kandungannya! Teringat akan hal ini lenyaplah niatnya membunuh diri.
Tidak... Pikirnya, tidak boleh.. Entah kelak kalua anak ini sudah terlahir selamat dan ada yang
memeliharanya ... ! tak boleh aku membawa anak yang tak berdosa itu ke alam gelap! Aku
harus hidup, harus hidup untuk memelihara anakku ini......!
Dirabanya kembali bungkusan roti kering dan untuk menghilangkan rasa perih di perutnya ia
memaksa makan sepotong roti, kemudian karena pikirannya ruwet dan hatinya berduka ia
menjadi lelah lahir batin dan jatuh pulas di bawah pohon itu.
Pada keesokan harinya ia melanjutkan perjalanan tanpa tujuan dan tidak tahu kemana ia
harus pergi, bahkan tidak tahu pula dimana ia berada dan kemana ia sedang menuju.
Berbulan-bulan ia melakukan perjalanan, dengan harapan kalau-kalau ia akan bertemu dengan
Houw Sin kekasihnya. Setiap kali tiba di sebuah dusun atau kota, ia mencari-cari, bertanyatanya kalau - kalau disitu terdapat pengungsi dari kota raja bernama Liok Houw Sin. Baiknya
ia membawa perhiasan emas yang diterimanya dari Nyonya Liok ketika ia masih menjadi
pelayan disana dan sedikit demi sedikit perhiasannya ini dijualnya untuk dimakan. Dan
merupakan hal yang baik pula bahwa ia sedang dalam keadaan mengandung, oleh karena
kalau sekiranya tidak demikian, tentu ia telah menjadi korban gangguan laki-laki jahat.
Akan tetapi, meskipun begitu, empat bulan kemudian semenjak ia merantau dan tiba di
sebuah hutan dengan maksud pergi ke kota An-sin-kwan yang menurut kata orang berada di
luar hutan itu, hampir saja ia mendapat gangguan perampok. Ketika ia sedang berjalan
perlahan seorang diri, tiba-tiba dari belakang mendatangi sebuah gerobak kecil ditarik oleh
seekor kuda yang ditunggangi oleh seorang laki-laki tinggi besar dan bermuka brewok.
Melihat seorang wanita berjalan seorang diri dan wanita itu ternyata sedang mengandung,
laki-laki itu menghentikan kendaraannya dan bertanya dengan suaranya yang kasar dan keras.
"Eh, toanio, kau hendak kemanakah ? Mengapa seorang diri saja?"
Muka brewok dan kata-kata yang parau kasar itu mengejutkan hati Sui Lan, akan tetapi mata
laki-laki yang usianya lebih kurang empat puluh tahun itu nampak jujur, maka ia lalu
menjawab,
"Aku hendak menuju kekota An-Sin-kwan mencari seorang sanak keluarga disana."
Laki-laki itu menggeleng-gelengkan kepalanya dan berkata seorang diri, "Hmmm,
alangkah buruknya jaman ini. Baru sekarang aku melihat seorang wanita muda, dalam
keadaan mengandung pula, jalan seorang diri dalam hutan dengan maksud pergi kekota yang
jauhnya tidak kurang dari 30 li ! Benar2 buruk sekali!. Kemudian ia melompat turun dari
kudanya, membereskan beberapa karung yang dimuat di gerobak kecil itu sehingga disitu
terdapat tempat lowong, lalu berkata kepada Sui Lan,
"Toanio, Aku tidak mengenal engkau, dan aku tidak ingin tahu pula mengapa kau
melakukan perjalanan seorang diri. Akan tetapi sebagai seorang laki-laki, aku tidak tega
melihat kau melakukan perjalanan berat ini. Naiklah, akupun kebetulan hendak mengantar
barang - barang ini ke kota An-Sin-kwan!"
Naga Merah Bangau Putih > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
12
Sui Lan merasa ragu-ragu. Ia tidak mengenal orang ini, siapa tahu kalau ia bukan orang
baik-baik?
"Terima Kasih, Lopek (sebutan berarti paman atau uwak). Sudah berbulan - bulan aku
melakukan perjalanan seorang diri, aku tidak mau mengganggu orang lain."
Jawaban ini membuat laki-laki itu melenggong. "Eh, kau agaknya bercuriga padaku, toanio
? hm, ketahuilah aku adalah seorang yang tidak biasa mengganggu wanita ! Namaku Lie Kai
danorang menyebutku Tiat-thouw-gu (Kerbau berkepala besi) Aku pernah menjadi pemimpin
sepasukan tentara petani dan perampok - perampok sudah mengenalku baik-baik. Tidak
seorangpun berani memandang rendah Tiat-thouw-gu dan biarpun semua pekerjaan buruk dan
jahat telah kulakukan, namun mengganggu wanita adalah sebuah pantangan besar begaiku!"
Sui Lan merasa tidak enak sekali karena orang itu telah dapat menduga bahwa ia
mencurigai laki-laki itu, akan tetapi mendengar nama julukan ini, ia makin merasatakut,
"Tidak, lopek, aku tidak bercuriga .... akan tetapi ... kakiku kini sudah kuat, aku telah
melakukan perjalanan ratusan li jauhnya dan tak pernah aku mendapat gangguan orang ..."
"Hmm, kau seorang wanita yang tabah dan berani, juga keras hati! Ah, toanio (nyonya) ...
melihat kau berjalan seorang diri dengan perut besar itu ... hatiku tidak tega. Apalagi kalau
sampai nanti kau di hadang gerombolan perampok yang menunggumu ... ah.. aku merasa
seperti anak perempuanku sendiri saja yang menderita kesengsaraan itu!"\
Mendengar betapa suara laki-laki itu tiba-tiba menjadi halus dan seperti orang terharu, Sui
Lan tidak dapat menahan keinginan tahunya dan bertanya,
"Kau juga mempunyai seorang anak perempuan, lopek?"
Tak disangkanya sama sekali bahwa pertanyaan ini merupakan pisau tajam yang menusuk
dada laki-laki brewok itu. Ia melompat turun, menghampiri sebatang pohon dan meninju
pohon itu sekuatnya,
"Krak .... !!!" Batang pohon sebesar paha orang itu terkena pukulannya menjadi patah dan
roboh seketika itu juga. Sui Lan menjadi heran dan juga takut, dan mengira bahwa mungkin
sekali laki-laki brewok ini miring otaknya.
"Jangan tanyakan itu .... jangan tanyakan itu..." kata kata laki laki brewok ini. "anakku ...
dia telah meninggal dunia ...." ketika Sui Lan mendengar ini dan melihat betapa dua butir
airmata melompat keluar dari mata orang brewok itu, ia menjadi terharu sekali. Perasaannya
yang halus membuat dia menghampiri laki-laki itu dan memegang lengannya lalu berkata
perlahan,
"Maafkan aku lopek, aku tidak tahu akan hal itu... " dan ketika melihat orang itu masih saja
berdiri dengan pandang mata jauh seperti orang melamun sedangkan wajahnya muram sekali
tanda akan kesedihan hatinya yang hebat, Sui Lan lalu berkata lagi dengan nada gembira.
"Lopek, aku turut kau! Mari kita berangkat dan kita dapat bercakap-cakap di jalan. Akan
lenyap kesunyian hutan yang amat menggangguku. Hayo Lopek!" Ia menarik tangan orang
tua itu yang menengok kepadanya dan agaknya sudah sadar kembali dari keadaan yang
menekan hatinya dan yang mengingatkannya akan hal-hal yang sedih itu.
"Baik, marilah, anak yang baik! Jangan kau khawatir, kalau ada serigala-serigala hutan
berani mengganggumu, akan kupecahkan kepalanya!"
"Serigala? apakah di hutan ini ada serigalanya, lopek ?"
Tiba-tiba Lie Kai si Kerbau berkepala besi itu tertawa terbahak-bahak.
"Ah, anak bodoh! mana ada serigala disini ? yang kumaksudkan adalah serigala-serigala
kaki dua." Sambil berkata demikian, ia melompat keatas kuda setelah melihat bahwa Sui Lan
telah duduk dengan baik didalam gerobak, lalu ia melarikan kudanya. Sui Lan menarik nafas
senang. Memang lebih enak naik gerobak daripada berjalan kaki. Selain kakinya tidak lelah
juga perjalanan ini juga akan lebih cepat. Sayang sekali jalan yang dilalui gerobak itu banyak
kerikilnya dan tidak rata sehingga gerobak itu terhuyung-huyung ke kana kiri, depan
belakang, dan ia seakan-akan dikocok-kocok di dalam gerobak.
Naga Merah Bangau Putih > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
13
"Lopek, jangan terlalu cepat ... " katanya.
Lie Kai menengok dan tiba-tiba ia teringat bahwa wanita yang dibawanya itu sedang
mengandun, maka ia cepatmenahan kendali kudanya dan kini kudanya itu berjalan biasa
sehingga Sui Lan tidak terlalu banyak menderita.
Tiba-tiba Lie Kai se Kerbau Berkepala besi yang duduk diatas kudanya, berdongak keatas
dan terdengarlah ia bernyanyi dengan suara yang parau dan keras sekali. Suara nyanyiannya
terdengar gembira dan bersemangat, akan tetapi kata-katanya sungguh tidak sesuai dengan
irama yang gembira dan bersemangat itu, karena kata-katanya merupakan sebuah keluhan :
"Tuan tanah kejam merampas sawah ladang
Bini dan anak oleh Thian dipanggil pulang
Kini tanah air dirampas oleh musuh pula
Aah! pegang golok seorang diri, apakah gunanya ?"
"He, lopek ! Kau agaknya gembira sekali!"
"Gembira katamu ?" Si brewok itu menengok sebentar. "Aku sedang mengeluh!"
"Habis, apakah kau suruh aku menangis ? apa gunanya tangis dan duka ?
Tiada gunanya, bukan ? Lebih baik hadapi segala kepahitan hidup dengan senyum dan tawa!"
Kata-kata yang kasar dan bersahaja ini berkesan di dalam hati Sui Lan.
"Lopek, apakah kau bahagia ?"
"Bahagia ? Apakah itu bahagia ? aku gembira, itu sudah pasti. betapapun juga rahasia
hatiku, aku memaksakan diri supaya bergembira. Kalau kebahagiaan diukur dari senyumatau
tawa atau dari wajah berseri, atau dari kesehatan tubuh, ataupun dan makan dan pakaian
cukup, nah, kau boleh sebut aku berbahagia!"
"Lopek, hidupmu tentu penuh dengan pengalaman-pengalaman hebat. alangkah
menariknya kalau kau mau menceritakannya kepadaku."
Akan tetapi sebelum Lie Kai menjawab, tiba-tiba terdengar suara keras berseru. "Hai....!
Tukang gerobak, berhenti !" Suara ini muncul dari arah kiri dan tak lama kemudian
muncullah berlompatan tujuh orang tinggi besar dari belakang pohon-pohon besar! Tujuh
orang itu kesemuanya berwajah galak menyeramkan sedangkan ditangan mereka nampak
golok mengkilap!
"Aduh, lopek... lekas larikan kuda! mereka itu tentu perampok jahat!" kata Sui Lan
perlahan dengan tubuh gemetar saking takutnya.
Lie Kai menengok kepadanya dan berkata sambil tertawa,
"Jangan takut, mereka itu hanya serigala-serigala kaki dua yang kukatakan tadi." kemudian
ia memajukan kudanya, bahkan menghampiri tujuh irang tadi yang memandang ke arah
gerobak dengan penuh perhatian.
"He, tukang gerobak!" membentak seorang diantara mereka yang memakai ikaat kepala
merah dan agaknya menjadi pemimpin mereka.
"Lekas kau turun dari kuda, tinggalkan kuda, gerobak dan semua isinya!"
Seorang diantara mereka yang semenjak tadi meman dang kearah Sui Lan sehingga yang
dipandanginya menjadi semaki ketakutan, berkata sambil tertawa.
"Ha..ha..ha..! Tukang gerobak, macammu buruk, usiamu sudah setengah tua, akan tetapi
isterimu cantik sekali, ha..ha..ha!"
Tadinya Lie Kai hendak menjawab ucapan si kepala perampok, akan tetapi ketika
mendengar ucapan orang ini, ia lalu balas memandang dan menjawab sambil tersenyum.
"Tolol! Dia bukan isteriku, melainkan anakku. Butakah matamu bahwa aku adalah ayahnya ?"
"Aha, kalau begitu kebetulan sekali!" kata perampok yang mata keranjang itu. "Kau boleh
tinggalkan semua ini, termasuk juga anak perempuanmu itu!"
"Sam-te (adik ketiga), jangan banyak bicara saja!" mencela kepala rampok tadi. "Seret saja
Naga Merah Bangau Putih > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
14
si tua itu dari atas kuda!"
Anggota perampok yang mata keranjang itu lalu maju dan membentak, "Turun Kau!"
sambil berkata demikian ia lalu menangkap lengan kanan Lie Kai lalu dibetotnya dengan
keras dengan maksud agar supaya si brewok itu jatuh terjungkal dari kudanya. Akan tetapi
akibat perbuatannya ini sungguh ajaib dan hebat. Bukan Lie Kai yang terjungkal dari atas
kuda, sebaliknya perampok itu yang terbetot keatas dan sekali Lie Kai menggerakan
tangannya, perampok itu mencelat keatas tinggi sekali! Perampok itu menjerit ngeridan
ketika tubuhnya jauh kembali ke atas tanah, debu mengepul tinggi dan terdengar ia bersuara
"Ngekk!!" lalu rebah tak berkutik lagi!
Tentu saja keenam orang perampok yang lain merasa terkejut setengah mati, juga marah
sekali. Serentak lalu mereka maju dengan golok terangkat ditangannya, akan tetapi tahu-tahu
tubuh Lie Kai telah melompat turun dan menghadapi mereka. Amat mengagumkan gerakan
Lie Kai ini. Agaknya sukar dapat dipercaya tubuh yang tinggi besar dan kaku itu dapat
melompat selincah dan seringan itu, bagaikan daun kering tertiup angin saja, tanpa bersuara
kakinya menginjak bumi. Kemudian, sebelum ada golok yang sempat menyambarnya, tubuh
Lie Kai berkelebat menyerang dengan gerakan yang tak terduga cepatnya.
Terdengarlah suara "Duk! Plak ! Ngeek!" ketika kedua tangannya membagi pukulan tamparan
dan tendangan yang mengenai kepala, pipi, atau perut perampok itu, disusul terikan-teriakan
"aduh... ! ampun ...!" dan disusul pula dengan robohnya tiga orang perampok!
Kepala perampok itu menjadi marah sekali dan secepat kilat goloknya menyambar, disusul
dengan dua orang kawannya yang juga menusuk dada dan pinggang Lie Kai. Si brewok ini
sambil tertawa bergwlak mengelak sambaran golok kepala rampok yang mengarah ke
lehernya dengan merendahkan tubuh. Golok yang menusuk dadanya dia sambut dengan
pukulan tangan dengan jari-jari terbuka yang dihantamkan dari pinggir mengenai permukaan
golok.
"Krak!" Golok itu terkena pukulan tangannya oenjadi patah tengahnya. Sedangkan golok
yang membabat pinggangnya itu disambut dengan tendangan kakinya ke arah pergelangan
lawan.
"Blek!" Lengan yang kena tendang itu patah tulangnya dan goloknya mencelat jauh entah
kemana!.
Sebelum ketiga orang perampok itu hilang rasa kagetnya, Lie Kai sudah bergerak maju
cepat sekali, tangan kanan menangkap baju kepala perampok itu pada dadanya, tangan kiri
memukul ke kiri dan sebuak tendangan merobohkan ke dua penjahat yang lain!
Kepala rampok yang terpegang bajunya itu mencoba untuk menyerang dengan golok, akan
tetapi sebuah ketokan pada sambungan sikunya membuat ia memekik kesakitan karena
sambungan tulang pada sikunya terlepas dan tangannya menjadi lumpuh. Dengan sendirinya
golok terlepas dari pegangan.
Lie Kai melanjutkan gerakannya dan ketika dua ujung jari tangannya menotok iga, kepala
rampok itu memekik kesakitan dan ketika Lie Kai melepaskan pegangannya, kepala rampok
itu lalu berputar-putar bagaikan ayam terpukul batok kepalanya! Kemudian, sambil menahan
rasa sakit yang hebat pada iganya, ia lalu mejatuhkan diri berlutut di hadapan Lie Kaiyang
tertawa bergelak.
"Ha..ha..ha..! Segala macam rampok kecil bermata buta! Kau berani mencoba-coba
bermain gila di depan Tiat-thouw-du Lie Kai ?"
Bukan main terkejutnya kepala rampok itu mendengar nama ini.
"Ampunkan mataku yang telah buta, tidak melihat gunung Thai San menjulang tinggi di
depan mata! Tai Ong (raja besar, sebutan yang lazim untuk kepala rampok besar)
ampunkanlah siauwte (sebutan untuk diri sendiri untuk merendah)!"
Akan tetapi, Lie Kai menjadi marah dan sekali kaki kirinya bergerak, ia telah menendang
Naga Merah Bangau Putih > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
15
kepala rampok itu sehingga berguling-guling beberapa kali jauhnya!
"Anjing busuk! Siapa sudi kau sebut Tai Ong ? Sudahkan kah mendengar bahwa telah
sepuluh tahun lebih aku mencuci tangan ? pernahkah kau mendengar selama ini bahwa Lie
Kai melakukan perampokan? Buka matamu dan pasang telingamu baik-baik, bangsat!"
Kepala rampok itu menjadi girang sekali oleh biarpun dia ditendang, namun tendangan itu
ternyata membebaskannya dari totokan yang amat menyakitkan iganya itu. Ia berlutut lagi
sambil mengangguk-anggukan kepalanya seperti ayam makan gabah.
"Ampun, sekali lagi ampunkan hamba, tai-hiap (pendekar besar). Hamba sekali-kali tidak
sengaja menyinggung perasaan tai-hiap!"
"Hush, tutup mulutmu dan jangan banyak cakap pula. Siapa sudi kau sebut tai-hiap ? aku
bukan seorang pendekar. Tanah air dijajah musuh aku tidak dapat mencegah, mana patut aku
disebut pendekar ? Sudahlah, aku ampunkan kalian dan ini obaaat untuk penyambung tulang
dan untuk mengobati luka-luka!" Ia melemparkan bungkusan kepada kepala perampok itu,
kemudian berkata pula "Akan tetapi awas kau kalau sampai lain kali aku mendengar kalian
mengganggu para pelancong atau penduduk yang tidak berdosa. Contohlah aku ketika masih
menjadi tokoh liok-lim (lembah hijau) dulu! yang kuganggu hanyalah hartawan-hartawan
pelit, tuan tanah-tuan tanah penghisap rakyat, dan pembesar-pembesar yang kejam! Sekarang
korbaon-korbanmu lebih banyak pula. Tanah air telah dijajah oleh musuh dan semua
pembesar negeri boleh kau ganggu, merekalah musuh-musuhmu!"
Setelah berkata demikian, Lie Kai lalu melompat keatas kudanya lagi, akan tetapi sebelum
menjalankan gerobaknya, ia menengok kearah Sui Lan yang memandangnya dengan penuh
kekaguman, maka berkatanya ia kepada kepala rampok itu sambil menunjuk kepala perampok
mata keranjang yang masih pingsan karena bantingannya tadi.
"Dan Kau jagalah baik-baik orang itu! Kalau ia masih melanjutkan wataknya yanh suka
mengganggu wanita, lain kali akan kuhabisi nyawanya!"
Lie Kai lalu melanjutkan perjalanannya dengan hati puas. Terdengar ia bernyanyi-nyanyi
lagi dan lagunya masih seperti tadi, riang gembira dan bersemangat, akan tetapi kata-katanya
juga masih syair yang merupakan keluh-kesah tadi!
Kini lenyaplah keraguan dalam hati Sui Lan terhadap orang tua ini. Ia menjadi amat kagum
akan kegagahan Lie Kai dan sepak terjangnya terhadap para perampok itu benar-benar
membuat ia memandang orang tua itu dengan penuh penghormatan. Pernah Sui Lan
mendengar tentang pendekar-pendekar gagah perkasa, dan kalau pendekar-pendekar itu
tadinya hanya menjadi semacam dongeng saja baginya, kini, ia merasa yakin bahwa
pendekar-pendekar itu memang ada dan Lie Kai adalah seorang diantaranya. Hidupku
sebatang kara, aku seorang lemah, miskin, dan tak seorangpun mau melindungiku. Alangkah
baiknya kalau ia mendapat pelindung seperti orang orang ini, demikian Sui Lan berpikir ia
teringat betapa orang tua itu tadi mengaku dia sebagai anaknya dan hatinya terasa hangat
mengenang hal ini. Tidak terasa pula, ia segera memanggilnya.
"Lie-lopek (Uwak Lie)!"
Lie Kai menghentikan kudanya dan menengok. "Apakah aku menjalankan gerobak terlalu
cepat ?" tanyanya sambil tersenyum. Senyum itu membuat hati Sui Lan terhatu, karena hanya
bibirnya yang tersenyum, sedangkan pandangan mata orang tua itu membayangkan kedukaan
besar yang ditekan-tekannya.
Sui Lan menggelengkan kepalanya dab berkata "Tidak, tidak terlalu cepat, aku hanya ingin
menyatakan terima kasih kepadamu, Lie-lopek. Kalu tidak ada kau yang menolongku, entah
bagaimana jadinya dengan diriku. Kalau aku berjalan seorang diri lalu bertemu dengan orangorang tadi .... ah tentu aku telah mati mereka bunuh atau bunuh diri!"
Lie Kai maklum akan maksud kata-kata Sui Lan, akan tetapi ia hanya tertawa danberkata
"Hanya ini saja? Ha..ha..kau lucu! bertemu dengan kau ataupun tidak, aku pasti akan
membasmi perampok-perampok itu apabila berjumpa dengan mereka. Untuk apa terima kasih
Naga Merah Bangau Putih > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
16
? Tak perlu kata-kata kosong itu!"
Setelah berkata demikian, LIe Kai menjalankan kudanya lagi.
"Lie-lopek ...!"
Lie Kai menghentikan kudanya lagi dan menengok.
"Ada apa lagi ? Kau membutuhkan sesuatu?"
Kembali Sui Lan menggeleng kepala "Tidak, Lie-lopek, aku hanya ingin mengatakan
bahwa aku senang sekali mendengar kau tadi mengakui kepada perampok itu bahwa aku
adalah anakmu! Ah ... kalau saja hal itu benar-benar, aku ,... akan suka sekali menjadi
anakmu!"
Merahlah wajah Lie Kai mendengar ini. "Ah, maafkan aku toanio. TAdi aku hanya biacara
untuk menjawab perampok yang kuran ajar itu. Mana patut aku menjadi ayahmu ? Dan pula,
kau tentu mempunyai ayah-ibu yang berbahagia serta suami yang bijaksana...."
Kata-kata ini serasa menusuk ulu hati Sui Lan dan sambil meramkan mata, Sui Lan
mencoba untuk menahan air matanya, akan tetapi tetap saja air matanya mengalir turun
membasahi pipinya.
"Eh..eh... kau kenapakah ?" tanya Lie Kai terheran-heran.
Sambil menghapus air matanya dengan saputangan, Sui Lan berkata, "Aku... aku telah
yatim piatu... "
Lie Kai terkejut dan memandang dengan melongo, "Aduh kasihan ! dan ... suamimu ... ?
dimanakah dia ? Mengapa membiarkan kau pergi seorang diri ?"
Ditanya demikian, makin deraslah keluarnya air mata Sui Lan. Sambil menutupi mukanya
dengan kedua tangan, ia menjawab terisak-isak, "Aku... aku tidak mempunyai suami..."
Tiba-tiba Lie Kai menggerakan tubuhnya dan dari aas kuda ia melompat dan tahu-tahu
telah berdiri di depan Sui Lan, didalam gerobak.
"Apa kau bilang ? Sudah .. meninggal duniakah dia ?"
Sui Lan tidak dapat menjawab, hanya menggelengkan kepalanya sambil menangis makin
sedih.
"Kalau begitu apakah dia telah menceraikanmu ? telah meninggalkanmu ?"
Kembali Sui Lan menggelengkan kepalanya beberapa kali.
Lie Kai menjadi hilang sabar. Dipegangnya kedua pundaj Sui Lan dan berkatalah dia
keras-keras.
"Anak, dengarlah! lihat mukaku dan percayalah kepadaku! Kalau dia meninggalkanmu,
akulah yang akan mencarinya dan menyeretnya kembali serta memaksanya minta ampun
kepadamu!"
Makin sedih Sui Lan menangis dan Lie Kai lalau memegang dagunya dan mengangkap
muka itu, memaksa Sui Lan memandangnya melalui air mata yang masih menderas keluar.
"Katakanlah! Dimana suamimu dan mengapa kau seorang diri saja> Bukankah kau hendak
pergi ke An-Sin-Kwan untuk mencaari keluargamu seperti yang kaukatakan tadi ?"
"Tidak... aku... aku tiada keluarga, aku tidak mempunyai siapapun juga didunia ini... aku
sebatang kara, tiada tempat tinggal, tanpa tujuan... merantau kemana saja, kakiku
membawaku... aku ... aku... " tidak melanjutkan kata-katanya dan menangis lagi.
"Dengar!" Lie Kai dan matanya menjadi merah karena menahan keharuan hatinya. "Aku
ayahmu, bukan?" Kau tadi ingin menjadi anakku, bukan ? Nah sekarang kau menjadi anakku!
Hayo kau ceritakan terus terang kepada ayahmu mengapa keadaanmu menjadi begini!"
Bukan main terhatunya rasa hati SUi Lan dan sambil menjerit dia lalu menjatuhkan kepalanya
di dada orang tua itu lalu menangis tersedu-sedu. Lie Kai menggeleng-gelengkan kepalanya
dan diam-diam ia meramkan kedua matanya untuk menahan jatuhnya air matanya,.
"Mari kita turun" katanya sambil menuntun Sui Lan turun, "Kita beristirahat sebentar
melepas lelah. Kau ceritakanlah keadaanmu kepadaku, dan siapa pula namamu, karena
Naga Merah Bangau Putih > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
17
sungguh amat lucu kalau seorang ayah sepertia kau tidak mengenal nama anaknya sendiri!"
Keduanya lalu duduk di bawah pohon yang teduh dan setelah dapat meredakan keharuan
hatinya, Sui Lan menceritakan riwayatnya mengaku bahwa namanya Ma Sui Lan dan bahwa
semenjak berusia delapan tahun ia telah dijual oleh ayahnya untuk membayar hutang, betapa
kemudia ia menjadi pelayan di rumah gedung Pangeran Liok Han Swee samapi mejadi
dewasa. Dengan terus terang dia menceritakan perhubungannya dengan Houw Sin, dengan
panjang lebar ia menceritakan tentang segala peristiwa itu sehingga pengalamannyayang
penuh derita semenjak berpisah dari Houw Sin.
Mendengar penuturan Sui Lan, Lie Kai mengeleng-gelengkan kepalanya dan berkata
menghela nafas berkali-kali. "Ah anak bernasib buruk, yang semenjak kecil sudah harus
menelan segala kepahitgeetiran hidup! Anak bodoh, yang menurutkan perasaan hati dan
mudah tergoda oleh cinta dan nafsu! KAsihan sekali ... kasihan sekali...!"
Dengan Sedih Sui Lan berkata, " Lopek.. kau telah mendengar semua riwayatku yang
penuh kecemaran ... yang buruk... memang aku telah lemah, tak berpikir panjang, mabok oleh
cinta, runtuh oleh godaan iblis... akan tetapi aku tidak menyesal lopek. Aku cinta
kepadanya.... Lopek, kau tentu jijik melihaatku, apakah kau masih mau mengaku anak kepada
seorang wanita yang.... yang mengandung diluar pernikahan yang sah ?"
"Mengapa tidak?" Lie Kai membelakakkan matanya , "aku kasihan kepadamu, dan aku
akan senang sekali menjadi ayah angkatmu."
Bukan main besar dan girangnya hati Sui Lan mendengar ini. Seketika itu juga lenyaplah
segala perasaan berat yang selama ini menekan hatinya, timbul pula pengharapannya. Ia
segera berlutut dan berkata sambil mengucurkan ait mata.
"Terima kasih... terima kasih ayah...aku berjanji hendak menjadi seorang anak yang
berbakti. Aku selalu rindu kepada seorang ayah... dan tentang ayah anak yang kukandung ini,,
kalau saja aku dapaat bertemu dengan dia, tentu dia akan menerimaku sebagai isterinya. Aku
yakin akan hal itu, karena dia...dia menyintaiku!"
"Mudah-mudahan begitu SUi Lan, Hal ini kuharapkan benar, sungguhpun akau merasa
ragu-ragu, karena aku telah mengenal hati laki-lak, yang mudah menyatakan cinta dan mudah
pula melupakannya. Aku maklum benar bahwa diantara seratus orang wanita di dunia ini
hanya seorang dua orang saja yang dapat berlaku curang dan tidak setia, akan tetapi
sebaliknya diantara seratus orang pria, hanya seorang atau dua orang saja yang dapat berlaku
jujur dan setia!"
"Ayah, kau sungguh mulia! Kau sudah mendengar riwayatku yang penuh noda, namun kau
tetap sudi menjadi ayahku. Alangkah bahagianya rasa hatiku, kau seakan-akan memberi api
kehidupan baru dalam dadaku."
Lie Kai tersenyum, sungguhpun matanya makin muram ketika ia menjawab, " jangan
menganggap demikian anakku. Kau belum mendengar riwayatku, dan kalau kau sudah
mengetahui keadaan riwayatku dimasa lalu, mungkin kau takkan memandangku demikian
tinggi. Akupun hanya seorang yang telah penuh dengan dosa." Kemudian dengan singkat Lie
Kai si Kerbau berkepala besi menceritakan riwayat hidupnya.
***
Lie Kai adalah seorang putra seorang petani yang tinggal disebuah dusun kecil di propinci
Hok-kiau. Semenjak kecil ia hidup sengsara karena ayahnya memiliki sebidang sawah yang
tidak berapa besarnya. Kepala daerah mengadakan peraturan pajak sawah luar biasa beratnya,
ditambah pula oleh kepala dusun yang dengan cerdiknya menambahkan biaya-biaya
penjagaan keamanan kampung dan lain-lain sehingga hasil sawah itu hampir habis dibayarkan
pajak-pajak ini!
Ini kalau tidak terjadi bencana alam menimpa. Pada musim kering, atau dikala hujan turun
Naga Merah Bangau Putih > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
18
terus menerus sehingga ait sungai membuat sawahladang menjadi telaga, keluarga-keluarga
tani miskin seperti keluarga Lie ini terpaksa mengikat diri dengan uang pinjaman dengan
bunga yang mengikat dan mencekik leher. Tentu saja keadaan ini membuat mereka makin
lama makin dalam tenggelam di lautan hutang, Jangankan untuk membayar induk hutang,
sedangkan untuk membayar anakannya saja sudah setengah mati. Tak mengherankan apabila
hutang yang mulu-mula tak berapa besar itu lama-kelamaan menjadi berlipat ganda dan
akhirnya mencapai jumlah yang tidak mungkin di bayar lagi. Kalau sudah demikian halnya,
maka boleh dikatanya kehidupan sekeluarga berada dalam cengkraman kuku para pelepas
uang panas itu.
Demikian pula keadaan ayah Lie Kai yang bertambah tahun tambah tenggelam dan
terpendam dalam lumpur hutang sampai lehernya. Akan tetapi keadaan yang buruk ini belum
diketahui oleh Lie Kai yang semenjak usia duabelas tahun telah pergi berguru ilmu silatdari
seorang hwe sio berilmu tinggi.
Ayah Lie Kai yang bernama Lie Cit amat menyina putera tunggalnya itu dan ketika Lie
Kai pulang enam tahun kemudian, ia segera menikahkan puteranya itu dengan seorang gadis
dusun yang amaat sederhana. Perayaan pernikahan ini, sesungguhnya amat sederhana, tapi
tetap saja membutuhkan biaya yang lumayan dan kembali Lie Cit yang tak berdaya diamdiam lari kepada tuan tanah yang memberi hutang kepadanya dan meminjam uang baru
dengan bunga yang lebih besar.
Tiga tahun kemudian, keadaan Lie Cit tak dapat dipertahankan lagi. Hutangnya telah
terlampau banyak dan bunga-bunga uang itu makin memperbesar jumlah utang. Akhirnya
tuan tanah merangkap lindah darat pelepas uang panas itu menagih dan lalu meminta
pertolongan pembesar setempat. Karena surat hutang menjadi bukti, akhirnya sawah Lie Cit
yang tak berapa besar itu dirampas untuk membayar hutang, itupun masih belum dapat
melunasi hutangnya.
Lie Kai menjadi marah sekali. Ia segera memdatangi tuan tanah itu dan memuncaklah
amarahnya ketika ia melihat dari surat hutang bahwa hutang ayahnya sesungguhnya tidak
begitu besar jumlahnya. Akan tetapi waktu yang belasa tahun lamanya itu yang telah
membuat jumlah hutang menjadi puluhan kali banyaknya!
Lie Kai yang berkepandaian tinggi hendak mengamuk dan menghajar tuan tanah itu, akan
tetapi isterinya menangis melarangnya, sambil menggendong seorang anak perempuan yang
masih kecil. Melihat isteri dan anaknya, lemah kembali hati Lie Kai dan ia hanyamenekan
kebenciannya terhadap tuan tanah itu.
Akan tetapi, tuan tanah itu ketika mendengar Lie Kai marah-marah dan hendak menyerbu
rumahnya, menjadi khawatir dan segera ia meminta pertolongan pembesar setempat
mengajukan tuntutan agar Lie Kai ditangkap dengan tuduhan mengancam jiwanya dan
disamping itu ia menuntut pula dibayarnya sisa hutang yang belum lunas.
Kejadian ini amat menyusahkan hati Lie Cit yang sudah tua sehingga ia jatuh sakit dan
meninggal dunia beberapa lama kemudian. Dan diwaktu Lie Kai masih berkabung, datanglah
pengawal pengawal oembesar setempat untuk menangkapnya!
Tentu saja hal ini membuat Lie Kai naik darah dan ia tidak dapat mengendalikan hatinya
lagi.
"Jahanam busuk, manusia-manusia terkutuk!" teriaknya marah. "Sudah merampas sawah
menghancurkan hati ayah sehingga ayah meninggal, kini datang hendak menangkap dan
menghina kami sekeluarga! Benar-benar kalian ini iblis-iblis bermuka manusia! Apakah kau
kira tidak ada pengadilan lagi di dunia ini ? Kalau pengadilan pemerintah diselewengkan
untuk menjadi kepentingan si kaya menindas si miskin, kalao Thian tidak menoleh lagi pada
manusia miskin yang tertindas, masih ada pengadilan lain yang akan menghukum kalian. Dan
inilah hakimnya!" Sambil berkata demikian Lie Kai mencabut dan mengacungkan goloknya,
Naga Merah Bangau Putih > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
19
lalu mengamuklah Lie Kai dengan hebat!
Para pengawal dan penjaga yang berjumlah puluhan orang lalu datang menyerbu dan
mengepungnya bahkan ada penjaga yang menyerang ibu dan isterinya sehingga kedua wanita
itu menjerit dan roboh mandi darah tak bernyawa lagi! Anak perempuannya yang baru berusia
dua tahun terlempaar dari gendongan ibunya dan menangis keras.
Bukan main marahnya hati Lie Kai melihat ini. Matanya menjadi beringas bagaikan mata
seekor harimau dan ia mengamuk makin hebat setelah berhasil menolong dan mengendong
anaknya. Goloknya yang putih sampai menjadi merah karena darah manusia dan lebih dari
setenagh jumlah pengeroyoknya roboh tak bernyawa lagi. Sebagian lagi merasa jerih dan
ngeri melihat amukan Lie Kai yang amat tangguh itu dan mereka melarikan diri cerai berai.
Dengan nafsu amarah masih meluap-luap dan kesedihan yang luar biasa melihat ibunya
dan isterinya menggeletak mandi darah dan tidak bernyawa lagi, Lie Kai sambil
menggendong anaknya dengan tangan kiri lalu berlari cepat mendatangi rumah tuan tanah,
membunuh tuan tanah itu yang menimbulkan malapetaka pada keluarganya. Kemudian iapun
pergi kepada pembesar yang diperalat oleh tuan tanah itu dengan maksud untuk
membunuhnya pula. Akan tetapi ia telah terlampau lelah dan juga pembesar itu mempunyai
banyak pengawal sehingga usahanya ini tidak berhasil bahkan hampir saja ia tertawan.
Lie Kai melarikan diri sambil membawa anaknya yang menangis disepanjang jalan.
Demikianlah anak perempuannya yang bernama Lie Eng yang semenjak kecil dididiknya
menjadi seorang alhi silat yang pandai. Lie Kai hidup sebagai seorang perampok yang
sebentar saja amat terkenal karena kegagahannya. Juga Lie Eng semenjak kecil hidup di
hutan-hutan digunung-gunung bersama ayahnya, menjadi seorang gadis yang cantik akan
tetapi liar.
Karena diatas dunia ini, ia hanya mempunyai Lie Eng seorang, maka tidak mengherankan
apabila Lie Kai amat kasih kepada puterinya itu, amat memanjakannya. Hanya satu saja citacitanya yakni mencarikan suami yang baik bagi Lie Eng.
Tamat     

Cerita Silat Wisma Pedang

Baca Juga: Cerita Silat Terbaru Karya Kwee Oen Keng Bendera M... Wanita Iblis Pencabut Nyawa 2 Tamat Kho Ping Hoo Tcersil Cerita Silat K...